28 Maret 2009

PTK versus PTK......???

PTK vs PTK


Pengetahuan dan persepsi seseorang terhadap informasi yang diperoleh sangatlah bervariasi.Hal itu pula yang saya rasakan ketika berdiskusi tentang Penelitian Tindakan Kelas atau yang lebih populer dengan istilah PTK. Mungkin sudah hal yang basi jika baru sekarang saya ikut-ikutan menulis tentang PTK. Di saat orang-orang sudah mulai meninggalkan PTK karena ada yang lebih baru dan lebih ngetrend saya baru merangkak menapaki PTK dan serba-serbinya. Untungnya saya biasa mengikuti pepatah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.. ha...ha...ha.
Pemahaman yang sangat beragam tersebut sebenarnya tidaklah menjadi masalah asalkan memiliki kebenaran secara konsep, dengan kata lain disertai dengan argumen yang masuk akal. Saya hanya memaparkan tentang perbedaan konsep di antara para mahasiswa pasca sarjana tentang konsep PTK(dan saya termasuk mahasiswa lho...he..he). Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan pemahaman yang beragam tersebut, diantaranya: 1) mahasiswa mempersepsikan lain setelah mendengar kuliah dari dosennya, 2) mahasiswa mengikuti kemauan pembimbing tesisnya masing-masing yang kemungkinan juga memiliki pemahaman yang beragam terhadap PTK, 3) ini alasan yang paling menyedihkan he...he...mahasiswa ’copy paste’ dari laporan penelitian tesis yang sudah ada di perpustakaan hanya untuk cepat-cepat mendapatkan selembar ijazah saja.
Kesalahkaprahan dalam memahami konsep PTK menurut saya karena kebanyakan orang belum tahu filosofi PTK itu sendiri, dan kebanyakan orang-orang berangkat dari penelitian kuantitatif yang karakteristiknya berbeda dengan PTK. agar tidak penasaran silakan menyimak tulisan berikut ini, jika tidak sependapat pembaca
1. Posisi PTK dalam jenis penelitian (Qualitatif dan Quantitatif)
Menurut saya PTK tidak termasuk sebagai penelitian Quantitatif maupun penelitian Qualitatif. PTK berdiri sendiri, hanya saja dalam analisis datanya memang kita menggunakan kedua jenis penelitian tersebut. Ada data secara quantitatif, misalnya data tentang tes hasil belajar siswa untuk mengukur kemampuan atau pemahaman siswa, ada pula data kualitatif yang digunakan untuk mendeskripsikan proses penelitian dalam PTK. Tenatang implementasi dan keberhasilan strategi yang dipilih dalam penelitian.
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa PTK merupakan gabungan dari penelitian qualitatif dan penelitian quantitatif, mohon maaf jika saya tidak sependapat dengan hal itu. Jika memang gabungan kedua jenis penelitian tersebut, maka seluruh karakteristik 2 penelitian tersebut harus ada dalam PTK. Kenyataannya PTK memiliki karakteristik sendiri yang khas, yang tidak kita temukan dalam penelitian jenis lain. Yaitu adanya siklus dalam PTK.
Ada lagi yang malu-malu (ini istilah saya lho...) mengatakan dengan jelas bahwa metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah PTK, saya katakan malu-malu karena mereka masih menyebut metode penelitiannya adalah Kualitatif hanya jenisnya adalah Penelitian Tindakan Kelas. Yang sering menjadi pertanyaan saya, mengapa tidak langsung saja menyebut PPTK???...menurut saya PTK bukan subset dari penelitian Qualitatif. Jika tidak sependapat dengan saya tidak apa-apa lho....
2. Ukuran keberhasilan sebuah siklus PTK
Suatu siklus dalam PTK dikatakan telah berhasil atau belum berhasil dapat diukur dari pencapaian target yang telah ditentukan, yaitu berupa kriteria keberhasilan. Bila pencapaian hasil sudah seperti yang ditergetkan, maka siklus tersebut sudah bisa dikatakan berhasil. Tetapi bila belum sesuai target, maka strateginya harus direvisi untuk digunakan pada siklus berikutnya.
Siklus kedua dan seterusnya, ukuran keberhasilan diukur dengan membandingkan prestasi/dampak yang telah dicapai dengan kriteria keberhasilan yang telah ditargetkan, bukan dibandingkan dengan hasil sebelum siklus 1 atau hasil pada siklus 1.
Nah...., banyak pendapat yang saya dengar bahwa keberhasilan siklus dari PTK itu dilihat dari perbedaan antara tes awal dengan tes akhir dalam tahap evaluasi. Jika memang seperti ini, mohon maaf saya kok tidak sependapat ya. Padahal mereka mengatakan bahwa tes awal itu dilakukan pada saat tahap pra penelitian(pendahuluan) untuk mendapatkan permasalahan yang akan ditangani dengan strategi dalam penelitiannya. Kan jadi tidak sejajar posisinya. Yang lebih fatal, apakah tes awal yang dilakukan peneliti pada studi pendahuluan itu masuk sebagai data yang ikut dianalisis?Posisi tes awal yang bahasa kerennya ’pre-test’ dan tes akhir atau ’post-test’ dapat dibasa poin kedua berikut.
3. Posisi pre-test dan post-test dalam PTK
Dalam PTK, tujuan penelitian adalah mengembangkan suatu strategi yang bisa berhasil membantu siswa menyelesaikan masalah pembelajarannya. Adapun tahapan penelitian yang dapat dilakukan adalah: 1) memilih satu kelas tertentu sebagai tempat penelitian, boleh kelasnya sendiri dan boleh juga memakai kelas orang lain asal peneliti tetap berkolaborasi dengan guru bidang studi yang mengajar di kelas yang telah dipilih itu, 2) mengidentifikasi masalah pembelajaran yang dihadapi oleh kelas tersebut, bisa diakses dengan test awal, dengan observasi, atau dengan melihat dokumen yang sudah ada, 3) memilih strategi spesifik yang dianggap paling cocok untuk menyelesaikan masalah pembelajaran tersebut (Planning), 4) mengimplementasikan strategi tersebut (implementing), 5) mengamati keberhasilannya berdasar prestasi yang ditargetkan (observing and reflecting), 6) merevisi strategi untuk diimplementasikan lagi pada siklus berikutnya bila prestasi yang ditargetkan belum tercapai atau masalah yang dicoba untuk pecahkan belum teratasi.
Sedangkan pre-test dan pos-test biasanya digunakan dalam rancangan penelitian jenis causal design, bukan jenis PTK. Pada penelitian dengan rancangan causal design, suatu strategi dipilih untuk diuji efektifitasnya, pengaruhnya melalui perbandingan prestasi pre-test dan post-test. Tahapannya adalah: 1) strategi dipilih untuk diuji efektivitasnya, 2) satu kelompok dipilih sebagai subyek experimen yang akan diberi perlakukan dengan menggunakan strategi yang telah dipilih, 3) kemampuan awal diukur dengan pre-test, 4) perlakuan diberikan dengan strategi yang telah dipilih, 5) keberhasilan belajar setelah diberikan perlakuan diukur dengan pos-test, 6) hasil pre-test dibandingkan dengan post-test untuk mengukur tingkat signifikansi perbedaannya. Hasilnya adalah sebuah pernyataan apakah strategi tersebut efektif atau tidak efektif dari aspek hasil atau dampaknya. Tidak ada tahapan revisi terhadap hasil strategi tersebut.
4. Tahap Planning (Perencanaan)
Planning di Bab 3 berisi tentang strategi yang akan dikembangkan, akan direvisi, ditambah, ataupun dikurangi. Strategi di Bab 3 adalah yang akan dikembangkan. Bukan laporan yang telah dilaksanakan.dalam penelitian jenis lain, Bab 3 tentang metode penelitian berisi laporan proses kegiatan penelitian, seperti design penelitian yang telah digunakan, proses pemilihan sample yang telah dilaksanakan, instrumen pengumpulan data yang telah dikembangkan dan digunakan, pengumpulan data dan analisis data yang telah dilaksanakan dalam penelitian tersebut.
Contoh yang mungkin tidak rasional (menurut saya lho...) banyak peneliti yang menuliskan bahwa pada tahap planning peneliti masih akan menyusun/merancang instrumen pengumpul data penelitian yang biasanya meliputi lembar observasi, lembar kerja siswa, tes hasil belajar, dsb. Logikanya jika masih harus menyusun/merancang masih akan dibutuhkan waktu yang lama untuk menjadi siap untuk digunakan dalam penelitian. Sedangkan dalam tahapan PTK peneliti harusnya sudah siap beraksi dengan ’action’nya sesuai strategi /skenario pembelajaran yang dipilih.
Menurut saya, akan menjadi lebih efektif dan efisien jika pada tahap Planning peneliti tinggal menyiapkan semua instrumen yang akan digunakan sebagai pengumpul data penelitian, mengadakan simulasi dengan tim peneliti (jika penelitian dilakukan secara kolaboratif partisipatoris), tujuannya untuk menyamakan persepsi terhadap model dan strategi pembelajaran yang akan diimplementasikan dalam penelitian, peneliti menyiapkan segala sesuatu yang akan digunakan dalam penelitian seperti media/alat peraga jika ada.
5. Data yang dikumpulkan pada tahap observation
Tahap observasi(observation) adalah kegiatan pengumpulan data dalam PTK. Data hasil dari pengamatan yang bisa dilakukan sesuai dengan sifat datanya( misalnya kemampuan diamati dengan test, minat diamati dengan angket, suasana kelas diamati dengan merekan apa yang terjadi di kelas, dsb) akan digunakan sebagian dari bahan refleksi untuk menentukan apakah strategi yang telah diimplementasikan telah berhasil memecahkan masalahnya atau belum. Bukan untuk kepentingan lainnya. Jadi kalau diungkapkan dengan pertanyaan, maka peneliti pada saat melakukan pengamatan (pengumpulan data) akan bertanya, ” seberapa jauhkah strategi yang sedang dicobapecahkan? Sehingga data yang dikumpulkan adalah hal-hal terkait dengan dampak dari strategi yang diimplementasikan, bukan kegiatannya sendiri.” (bingung ya....:)) karena kegiatan peneliti(guru) dalam mengimplementasikan strategi bukan termasuk data.
Kesalahan yang sering terjadi, yaitu membuat check list untuk kegiatan guru dan siswa untuk mengecek apakah strateginya telah dilaksanakan seperti skenarionya atau belum. Jika data ini yang dikumpulkan maka data tersebut kurang bisa digunakan sebagai bahan refleksi untuk menilai strategi, karena data tersebut tidak berkaitan dengan ukuran keberhasilan strategi. Menurut saya, data tentang kegiatan guru dan siswa tetap harus diamati, tetapi kapasitasnya adalah untuk memperbaiki implementasi, atau memperbaiki kemampuan guru dalam mengimplementasikan strategi
6. Menyusun laporan PTK
Hasil penelitian biasanya dituliskan di Bab 4 yang berisi hasil penelitian dan pembahasan terhadap hasil penelitian tersebut. PTK melibatkan tahapan planning, implementing, observing, dan reflecting. Dengan tahapan-tahapan itulah dihasilkan produk PTK yang dilaporkan pada Bab4.
Menurut saya, Bab 4 pada laporan PTK tidak berisi proses penelitian, tetapi benar-benar berisi tentang hasil penelitian. Sehingga yang perlu dilaporkan adalah: 1) hasil refleksi pada siklus pertama, 2) apakah indikator keberhasilan yang telah ditargetkan telah tercapai atau belum, 3) bila belum tercapai dan perlu diteruskan lagi ke siklus berikutnya, revisi apa tehadap strategi yang telah digunakan pada siklus pertama untuk diimplementasikan pada siklus berikutnya, revisi apa terhadap strategi yang telah digunakan untuk diimplementasikan pada siklus berikutnya, dst.
7. Menuliskan kesimpulan pada laporan PTK
Kesimpulan penelitian adalah jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan dalam penelitian tersebut. Oleh karena itu kesimpulan harus menjawab pertanyaannya. Karena pertanyaan PTK adalah bagaimana menyelesaikan masalah dengan suatu strategi tertentu, maka jawabannya harus suatu prosedur pemyelesaian sesuatu yang kemudian didukung bukti bahwa masalahnya telah terpecahkan dengan strategi tersebut. Jadi isi kesimpulan PTK tidak sama dengan kesimpulan untuk penelitian jenis causal design ataupun corelational design, yang biasanya memang diformulasikan dalam suatu proposisi: Karena............, maka ................(untuk causal design), atau :Semakin .............., maka semakin .......................(untuk corelational design)
8. Produk PTK
Dalam PTK peneliti berperan ganda, yaitu sebagai guru dan sebagai peneliti sekaligus. Sebagai guru, dia harus menyelesaikan masalah pembelajaran, sebagai peneliti dia harus menghasilkan karya ilmiah, yaitu produk yang berupa strategi pembelajaran yang telah berhasil dia gunakan untuk menyelesaikan masalah pembelajaran tersebut, tentunya selain karya ilmiah yang berupa laporan peneltiian dan artikel ilmiah yang bisa situlis dari laporan penelitiannya.
Jadi mungkin kurang tepat jika ada peneliti yang menngagung-agungkan hasil penelitiannya jika yang disoroti hanyalah ketercapaian/ketuntasan indikator keberhasilan dalam PTKnya. Karena, jangan lupa bahwa dalam PTK peneliti harus menekankan pada proses dan tidak pada hasil. Karena penekanan pada proses maka produk PTK seperti yang telah disinggung di atas, maka produk PTK berupa strategi pembelajaran.
Sekali lagi, pembaca boleh tidak sependpat dengan saya, karena perbedaan akan menambah dunia menjadi lebih berwarna....
Selamat berpendapat. Merdeka!

05 Desember 2008

MENGAPA MENGGUNAKAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING???....

Mengapa Menggunakan
Contextual Teaching and Learning (CTL)?



Sebuah delman tidaklah terlihat sebagai delman sebelum semua bagiannya terpasang; hubungan khas antara bagian-bagiannya itulah yang menjadikannya sebuah delman. Dan hubungan-hubungan tersebut bukjan hanya keterkaitan secara fisik belaka; hubungan-hubungan itu melibatkan hubungan dengan hewan-hewan yang menariknya, benda-benda yang diangkutnya, dst.
(Dewey, 1966:143)


CTL: Berakar pada Sebuah Pandangan Baru
Mendefinisikan Contextual Teaching and Learning (CTL), apakah perlu? Harus. Mengapa? Karena penting sekali bagi para pendukung dan praktisi CTL untuk menetapkan definisi CTL yang dapat diterima secara universal, menyetujui ciri khasnya, asalnya, dan alasan keberhasilannya. Jika dipahami dan dilaksanakan secara tepat, CTL memiliki potensi untuk menjadi lebih dari sekedar tanda pada proses pembelajaran di ruang kelas. CTL menawarkan cara menuju keunggulan akademis yang dapat diikuti oleh semua siswa. Hal itu dapat terjadi karena sistem kerja CTL sesuai dengan cara kerja otak dan prinsip-prinsip yang mendukung sistem kehidupan. CTL adalah sebuah sistem yang bersifat menyeluruh yang menyerupai cara alam bekerja.
CTL melibatkan para siswa dalam aktivitas penting yang membantu mereka mengaitkan pelajaran akademis dengan konteks kehidupan nyata yang mereka hadapi. Dengan mengaitkan keduanya, para siswa melihat makna di dalam tugas sekolahnya. Ketika mereka menemukan suatu permasalahan yang menarik, mereka akan membuat pilihan dan menerima suatu tanggung jawab, mencari informasi dan menarik kesimpulan, ketika mereka aktif memilih, menyusun, mengatur, menyentuh, merencanakan, menyelidiki, mempertanyakan, dan membuat keputusan, mereka akan mengaitkan isi akademiknya dengan konteks dalam dunia nyata (dunia sehari-hari), dan dengan cara ini mereka menemukan makna.
Penemuan makna adalah ciri utama dari CTL. Arti makna secara harfiah adalah ‘arti penting dari sesuatu atau maksud’ (diadopsi dari Webster’s New World Dictionary, 1968). Pencarian makna merupakan hal yang alamiah, seperti pernyataan psikolog, Viktor E. Frankl, bahwa tujuan utama seseorang bukanlah mencari kesenangan maupun menghindari rasa sakit, melainkan melihat sebuah makna di dalam hidupnya.
Sebelum para guru setuju akan nilai penting utama yang diberikan oleh CTL terhadap makna, mereka berada dalam bahaya salah pengertian tentang mengapa CTL menguntungkan semua siswa. Mereka berada dalam bahaya mendefinisikan CTL secara sendiri-sendiri dan tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti : mengapa belajar dalam konteks dapat membantu semua siswa menguasai materi akademis? Apakah asal usul CTL? Apakah tanggung jawab guru terhadap setiap siswa? Bagaimanakah pemikiran-pemikiran kritis dan kreatif muncul dalam CTL? Dan pertanyaan utamanya adalah apakah CTL?

KETERBATASAN PENDIDIKAN TRADISIONAL
Pendidikan tradisional tidak berhasil untuk para siswa karena berbagai alasan. Alasan-alasan ini bermula dari pandangan yang populer di abad ke-18 dan bahkan sampai sekarang masih mempengaruhi pemikiran umum. Pandangan itu melihat bahwa kenyataan terdiri dari objek-objek yang bebas. Pandangan baru yang dikembangkan oleh ilmu pengetahuan modern melihat kenyataan sebaliknya, yaitu kenyataan timbul dari saling ketergantungan antar objek. Dari hubungan-hubungan tersebut terciptalah kenyataan. Pandangan modern terhadap kenyataan ini menggarisbawahi pentingnya hubungan-hubungan dalam pengalaman manusia.
Tanpa menyadari pandangan modern ini, yang berpendapat bahwa sekolah-sekolah besar yang impersonal akan menggantikan sekolah-sekolah kecil karena menjalankan sekolah yang besar akan ‘lebih hemat’. Sekolah-sekolah menengah dan tingkat atas saat ini lebih mirip pabrik dan telah membuktikan dampat merusak dari oraganisasi-organisasi besar impersonal terhadap jiwa manusia, yaitu justru mengisolasi orang, dan bukan menghubungkan mereka. Sekolah-sekolah impersonal membuat mereka gamang, diabaikan, diasingkan, dan bingung. Hanya anak-anak yang memiliki kemampuan sosial tinggi yang mampu bertahan dalam suasana dingin sekolah-sekolah besar di mana dibutuhkan usaha keras untuk membangun hubungan yang berarti dengan guru dan teman. Bagi kebanyakan siswa, sekolah menengah adalah tempat yang mematikan semangat dan ingin sekali mereka tinggalkan.
Guru hanya menganggap bahwa siswanya ada di kelas supaya lulus, bukan untuk belajar sesuatu, bahkan pengajar terlalu sibuk mengajar kelas-kelas sepanjang hari hingga mereka tidak memiliki waktu untuk mengenal, atau bahkan berbicara pada siswanya. Ditambah lagi, karena dalam sistem tradisional alokasi waktu hanya berlangsung selama 45 sampai dengan 50 menit, mereka tidak diberi waktu untuk bertanya, berdiskusi, mencari tahu, berpikir kritis, atau terlibat dalam kerja nyata dalam pemecahan masalah. Waktu siswa hanya dihabiskan untuk mengisi buku tugas, mendengarkan gurum dan menyelesaikan latihan-latihan yang membosankan. Yang terakhir mereka hanya mengikuti ujian untuk mengukur kemampuan siswa dalam menghafalkan fakta-fakta atau rumus-rumus.



ASAL MULA CTL: Sebuah Gerakan ‘Akar Rumput’
Jika dipahami dan dilaksanakan dengan benar, CTL akan memiliki kemampuan untuk memperbaiki beberapa kekurangan yang paling serius dalam pendidikan tradisional. Kekurangan-kekurangan ini digambarkan dalam berbagai laporan penelitian yang dilakukan selama kurang lebih 15 tahun. Garis besar yang dapat ditarik dalam masing-masing laporan penelitian itu, bahwa semua siswa layak mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Semua siswa tidak hanya mempelajari materi-materi akademis yang maju, tetapi juga harus mencapai stándar akademis yang tinggi. Artinya setiap siswa berhak untuk mempelajari tidak hanya ketrampilan, tetapi juga materi akademis.
Hal tersebut di atas dilaksanakan dengan cara menggabungkan pengetahuan dan ketrampilan; mempelajari konsep-konsep abstrak dengan melakukan kegiatan praktis, menghubungkan tugas sekolah dengan dunia nyata (Hull, 1993) yang akhirnya terkenal dengan istilah ‘belajar dengan melakukan (learning by doing)’. Dihimbau untuk mengaitkan mata pelajaran akademik dengan dunia nyata, sehingga pengajaran seharusnya diberikan dalam konteks. ‘Belajar agar tahu’ tidak boleh dilepaskan dari ‘belajar agar bisa melakukan’.
Akhirnya kata “konteks” di atas menghasilkan terminologi pembelajaran kontekstual. Kata kontekstual kemudian secara alami menggantikan kata ’terapan’ karena ’terapan’ terlalu sempit untuk dapat mencakup inovasi mengejutkan yang dicapai oleh gerakan akar rumput reformis ini. Kontekstual yang lebih menyeluruh menyatakan saling keterhubungan. Yaitu segala sesuatu yang terhubung, termasuk gagasan-gagasan dan tindakan. Kontekstual juga mengarahkan pemikiran kita pada pengalaman. Ketika gagasan-gagasan dialami, digunakan di dalam konteks, mereka menjadi memiliki makna.
Kemitraan yang memungkinkan para siswa menerapkan pelajaran akademis ke dalam kelas; pelajaran-pelajaran uang mengaitkan tugas sekolah dengan pengalaman sehari-hari; restrukturisasi sekolah yang memungkinkan ”learning by doing” dimana semua kegiatan ini menunjukkan kekuatan dari pesan pokok CTL, yaitu: ”learning by doing” menyebabkan kita membuat keterkaitan-keterkaitan yang menghasilkan makna, dan ketika kita melihat makna, kita menyerap dan menguasai pengetahuan dan ketrampilan.

MENOLAK DUALISME: Menyatukan Pemikiran dan Tindakan
Para guru awalnya mencoba menjalankan CTL karena akal sehat dan pengalaman memberi tahu mereka bahwa menggabungkan antara abstrak dan nyata, pikiran dan tindakan, konsep dan praktik akan membantu para siswa mempelajari materi akademik. Tanpa menyadari hal itu, mungkin para guru ini akan terlibat dalam dualisme yang melumpuhkan yang telah menimpa sistem pendidikan (utamanya di Amerika) sejak awal. Dualisme ini memisahkan sisi abstrak dan sisi nyata. Sisi abstrak yaitu gagasan-gagasan, konsep, pengetahuan itu sendiri, dan kumpulan informasi telah lama terpisah dari sisi nyata pendidikan.
Sedangkan masih banyak penganut metode mengajar tradisional yang masih mempertahankan pemisahan ini. Sisi nyata (yaitu tindakan praktis dalam dunia sehari-hari, situasi aktual, masalah-masalah nyata) diminimalkan oleh para pendukung pendidikan tradisional, seakan sisi tersebut tidak terlalu berguna. Para pendukung pendidikan tradisional seakan-akan mengajak para siswa menyerap tetapi tidak menggunakan; mendengar tetapi tidak bertindakl berteori tetapi tidak mempraktikkan. Tugas para siswa hanyalah mengingat fakta dan gagasan, bukan mengalami gagasan itu di dalam tindakan. John Dewey menekankan keterkaitan ini dalam Democracy and Education:
Sebuah delman tidaklah terlihat sebagai delman sebelum semua bagiannya terpasang; hubungan khas antara bagian-bagiannya itulah yang menjadikannya sebuah delman. Dan hubungan-hubungan tersebut bukjan hanya keterkaitan secara fisik belaka; hubungan-hubungan itu melibatkan hubungan dengan hewan-hewan yang menariknya, benda-benda yang diangkutnya, dst. (Dewey, 1966:143)
Gerakan akar rumput CTL menunjukkan bahwa CTL layak berada di jantung sistem pendidikan setiap masyarakat. CTL menghilangkan pemisahan antara pembelajaran teoritis dan praktis. CTL memadukan gagasan dan tindakan, mengetahui dan melakukan, berpikir dan bertindak. Sebagai suatu pendekatan menyeluruh terhadap pendidikan, CTL cocok dengan cara otak berfungsi, yang merupakan sistem dari berbagai sistem.

02 Desember 2008

BENANG KUSUT YANG SULIT TERURAI???...

BENANG KUSUT YANG SULIT TERURAI???...


Berburu ke padang datar,
Mendapat rusa belang kaki,
Berburu kepalang ajar,
Bagai bunga kembang tak jadi.
Berburu ke padang datar,
Mendapat rusa belang kaki,
Bermurid kepalang dasar,
Mengundang bala di kemudian hari.

Pantun di atas penulis temukan dalam kumpulan artikelnya Pak Andi Hakim Nasoetion (Alm) yang diterbitkan tahun 80-an. Lho…kok??? Sudah pantunnya kuno, ditulispun sudah hampir 30 tahun yang lalu, tidakkah sudah basi?? ..:) mungkin bukan basi lagi bahkan sudah jadi fosil. Tetapi toh kenyataannya sampai sekarang kondisinya masih tetap tidak banyak berubah. Malahan dari bunyi pantun di atas kita baru kita tahu maksud Pak Andi (Alm), bahkan bisa dibilang Pak Andi ‘ngerti sakdurunge winarah’ kata orang jawa.
Ngomong-ngomong tentang problematika pendidikan di Indonesia (boleh ya saya ikutan menyemarakkan tulisan tentang hal ini…he…he… daripada blog saya kosong ) seperti tidak ada habis-habisnya. Masih lekat dalam ingatan saya ketika itu saya menjadi salah satu staf pengajar bidang studi matematika di Madrasah Aliyah di lombok Timur NTB. Kebetulan saya suka dengan kepemimpinan kepala Madrasahnya (jika dilihat dari kedisiplinan dan kegigihannya untuk menginginkan madrasah, siswa dan guru-gurunya maju…bravo ustadz). Setiap kali selesai dilaksanakan Ujian akhir Semester (UAS) beliau mengadakan rapat dewan guru, dimana salah satunya dibahas tentang kendala-kendala yang dihadapi masing-masing guru bidang studi. Misalnya jika rata-rata siswanya dalam kelas masih kurang maka beliau akan bertanya kira-kira apa yang menyebabkan hal itu bisa terjadi.
Kebetulan mata pelajaran matematika termasuk pelajaran dengan nilai rata-rata yang stabil (jeleknya …), saya mendengar pembelaan dari salah satu guru matematika terhadap pertanggungjaweaban kelasnya. Beliau berkata ,”ustadz…nilai rata-rata siswa yang rendah disebabkan oleh pengetahuan dasar mereka yang tidak kuat. Jika fondasinya saja sudah tidak kuat bagaimana bisa mereka memahami materi berikutnya yang tentu saja lebih sulit daripada sebelumnya.” Ada lagi guru bidang studi lain yang saya dengar mengatakan bahwa input siswa memang sudah rendah karena tidak adanya seleksi pada saat mereka mendaftar pada tahun pertama mereka masuk Aliyah.
Saya berpikir, apa yang dikemukakan oleh teman-teman guru tersebut semuanya benar, dengan kata lain tidak ada yang salah alias mereka semua berhak mendapat nilai seratus…tus. Tetapi apakah adil jika kita selalu menyalahkan keadaan yang lampau, adilkah kita jika selalu menganggap bahwa ketidakpahaman siswa itu adalah warisan dari guru yang mengajar sebelumnya??? Jika keadaannya seperti ini, maka terjadi mata rantai yang tidak ada putusnya. Guru Aliyah (SMA) akan menyalahkan guru MTs-nya, guru MTs akan menyalahkan guru Minya. Berarti yang paling apes adalah guru TK, karena sudah tidak bisa menyalahkan siapa-siapa lagi, karena sudah tidak ada sasaran maka mereka kembalikan masalah tersebut ke orang tua masing-masing. Nah…lho…
Cara pandang oknum guru yang seperti itulah yang seharusnya kita kikis sedikit demi sedikit. Kita harus menanggalkan pepatah ‘jangan beri kami ikan, tetapi berilah kami kail yang ada ikannya’....(maaf, ini adalah plesetan pepatah yang biasanya saya buat lelucon di antara kawan-kawan saya). Berarti memang harus kembali ke jalan yang benar dengan menggunakan pepatah ‘jangan beri kami ikan, tetapi berilah kami kail’. Kapan???... tidak usah menunggu lama-lama, sekarang saja kita mulai. Kenapa harus menunggu orang lain yang memulai. Mungkin dengan cara seperti ini tidak ada lagi (ya…minimal berkurang sedikit…) saling menyalahkan di antara guru-guru kita. Pantang terus maju mundur…eh…salah ya, maju terus pantang mundur!!...majulah pendidikan Indonesia.
Menurut hemat saya, tidak ada salahnya (malah sangat baik) jika kita bisa memulai dari diri kita sendiri. Tanyakan kepada diri kita apa yang sudah kita berikan kepada orang lain, dan jangan tanyakan apa yang sudah orang lain berikan kepada kita. Mungkin pepatah (atau apalah…namanya) ini cocok untuk mengilustrasikan semua hal tersebut.
Jadi biarkan anjing menggonggong, kita jalan terus saja. Biarkan kondisi pendidikan kita jika boleh dikatakan sangat memprihatinkan, bukan berarti kita harus ikut terpuruk dalam keprihatinan. Tidak usah menunggu orang lain untuk memulai, tapi kita harus memulai dengan diri kita sendiri. Bayangkan jika semua guru mempunyai pikiran seperti ini, pasti sistem akan berjalan dengan sendirinya. Hidup pendidikan Indonesia!!!...Merdekka...sekali merdeka tetap merdeka...he..he...

13 Juli 2008

Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Konsep Peluang Melalui
Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Konsep Peluang Melalui
Pendekatan Kontekstual pada Siswa Kelas XI IPA MA Mualimat NW
Pancor Lombok Timur NTB

Improving of the Understanding of Mathematics in Probability Concept
at The XI IPA Student of MA Mualimat NW Pancor
Lombok Timur NTB

Oleh:
Eni Titikusumawati
Atikaturahmaniah
Sahlan

Didanai Oleh:
Hibah Penelitian Tindakan Kelas
P2TK dan KPT Dirjend Dikti


Abstract: The problem which is investigated in this research is the implementation of the contextual approach of the mathematics in class XI IPA MA Muallimat NW Pancor is not optimal yet, that caused the lowness of study result. The subject of this research is the students of class XI IPA MA Muallimat NW Pancor East Lombok NTB. The implementation of this research is conducted in the form of model design implementation. In several cycles stimulatingly each cycle is the basic to revise the next cycle.
There were 3 cycle implemented during 8 months, it’s known that in the third cycle (the last) the evidence has shown that there was an optimal change relate to the indicator of the success ness is 75% the students get the grade over 6,5. The result of the evidence showed that in the cycle I, 55.5% students, cycle II 68.8% students, cycle III 88.8% the students get the grade over 6.5.
This showed that there is significant improvement from cycle to cycle. Therefore the use of contextual approach can improve the study result of the students.

Key Word: Contextual Teaching and Learning Approach, Study Result


PENDAHULUAN
Belajar merupakan pemrosesan informasi oleh siswa. Prosesnya melalui persepsi, penyimpanan informasi, dan pemanfaatan kembali informasi tersebut untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Belajar merupakan kegiatan aktif siswa dalam membangun makna atau pemahaman. Dengan demikian guru, perlu memberikan dorongan kepada siswa untuk menggunakan otoritasnya dalam membangun gagasan. Selain itu seorang guru bertanggung jawab pula untuk ‘menciptakan’ situasi yang mendorong prakarsa, motivasi, dan tanggung jawab siswa untuk belajar sepanjang hayat.

Berdasarkan uraian di atas jelas terlihat bahwa siswa merupakan ‘aktor utama’ dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain pemahaman konsep siswa terhadap mata pelajaran tergantung sepenuhnya pada diri siswa, mereka harus dapat memanfaatkan situasi yang diciptakan guru yang berperan sebagai fasilitator. Guru sebagai fasilitator mutlak harus menguasai metode/teknik pembelajaran yang efektif, efisien dan tepat sasaran.

Penentuan metode/teknik mengajar yang akan digunakan harus senantiasa diawali dari situasi real (nyata) di dalam kelas. Bila situasi dan suasana di dalam kelas berubah maka metode/tekhnik mengajar pun juga harus berubah. Karena itulah seorang guru sebagai ”pengendali” kegiatan belajar mengajar di dalam kelas harus menguasai dan tahu kelebihan dan kekurangan beberapa macam metode pengajaran dengan baik, sehingga guru mampu memilih dan menerapkan metode pengajaran yang dinilai paling efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

Perubahan situasi dan tujuan pembelajaran di dalam kelas memerlukan kepekaan guru, artinya seorang guru harus mampu mendiagnosis masalah yang muncul dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Selain itu guru juga dituntut mampu menganalisis dan mendeskripsikan penyebab dari masalah tersebut serta mampu memilih metode yang paling tepat untuk digunakan memecahkan masalah tersebut.
Dalam penelitian ini peneliti berusaha berangkat dari hal-hal yang telah diuraikan di atas. Lokasi penelitian dipilih MA Mualimat NW Pancor dengan pertimbangan sekolah ini merupakan sekolah binaan STKIP Hamzanwadi Selong, selain itu sekolah ini termasuk sekolah dalam kelompok kategori sekolah dengan kualitas menengah menuju rendah, sehingga peneliti beranggapan banyak permasalahan-permasalahan pembelajaran yang mendesak untuk segera dipecahkan di sekolah ini.

Karena lokasi penelitian berada pada sekolah menengah (MA Mualimat NW Pancor) dimana peneliti utama tidak mengetahui secara real (nyata) permasalahan yang muncul di dalam kelas selama pembelajaran, untuk itu peneliti perlu melibatkan beberapa guru matematika MA Mualimat NW Pancor sebagai mitra sejajar dalam penelitian ini. Untuk itu peneliti perlu melakukan kunjungan awal ke sekolah tersebut guna mencari masukan tentang permasalahan-permasalahan pembelajaran matematika yang sering muncul di sekolah tersebut. Berdasarkan hasil kunjungan awal tersebut disepakati bersama bahwa permasalahan pembelajaran matematika yang segera ditangani difokuskan pada siswa kelas XI terutama pada kelas XI 1 karena kelas ini dinilai paling “bermasalah’ bila dibandingkan dengan kelas-kelas yang lain. Setelah dipilih kelas XI 1 dosen sebagai peneliti utama melakukan wawancara sejajar dengan guru matematika kelas tersebut sebagai anggota peneliti mengenai permasalahan-permasalahan yang dihadapi selama pembelajaran, selain itu dosen (peneliti utama) juga mengikuti kegiatan belajar mengajar di dalam kelas selama beberapa kali pertemuan, untuk melihat kondisi sebenarnya di dalam kelas. Berdasarkan pengamatan langsung di dalam kelas dan wawancara dengan guru dan siswa. Dosen bersama guru sebagai tim peneliti mendiagnosis bersama permasalahan-permasalahan yang muncul selama proses pembelajaran di dalam kelas serta menganalisis akar masalahnya serta mencoba sharing ide guna mencari alternative pemecahan masalah yang dianggap paling tepat, efektif dan efisien.

Dari hasil kegiatan observasi awal dan wawancara dengan guru pengajar matematika yang telah disebutkan di atas, menunjukkan bahwa sebagian besar siswa mempunyai kelemahan yang hampir sama yaitu, (1) sebagian besar siswa mempunyai nilai yang sangat rendah untuk bidang studi matematika khususnya materi peluang (2) siswa mengalami kesulitan dalam memahami konsep dan ide-ide pokok matematika, data ini ditunjang dengan nilai hasil belajar matematika siswa yang cenderung sangat rendah, (3) Siswa kurang termotivasi untuk belajar matematika khususnya konsep peluang, (4) siswa cenderung berlaku multiple D (datang, duduk, dengar, diam) sehingga kegiatan pembelajaran di dalam kelas cenderung pasif dan berlangsung satu arah (teacher centre), (5) siswa cenderung bersifat individual kurang bisa bekerja dalam kelompok (team work).

Kelima kelemahan siswa di atas berdasarkan hasil diskusi dosen dengan guru diduga berasal dari akar masalah sebagai berikut; (1) pada umumnya sebagian besar guru baik pada sekolah dasar maupun menengah lebih menekankan pada strategi pembelajaran teacher centre yaitu strategi yang menekankan pembelajaran berpusat pada guru, sehingga hal ini menyebabkan tidak “teraktifkannya” potensi dan kemampuan siswa dengan maksimal, siswa hanya sebagai pendengar, seperti botol kosong yang dituangi air. Hal ini menyebabkan siswa menjadi cenderung pasif dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, selain itu hal ini akan mengakibatkan hasil belajar siswa menjadi rendah, karena mereka kurang dilibatkan dalam membangun konsep sendiri (2) materi pelajaran yang cenderung hafalan menyebabkan siswa tidak tahu relevansi materi pelajaran yang ia pelajari dengan kehidupan sehari-harinya sehingga materi pelajaran hanya ada dalam angan-angan (utopia) tanpa bisa diterapkan dalam dunia nyata dan kehidupan sehari-hari mereka, sehingga motivasi siswa untuk ”tahu” menjadi menurun. (3) model pembelajaran yang klasikal kurang menekankan bekerja dalam kelompok hal ini pada giliranya akan menyebabkan siswa kurang terampil bekerja dalam kelompok. Atau seandainya mereka bekerja dalam kelompok biasanya hanya bekerja dalam kelompok yang anggotanya mereka pilih sendiri atau anggotanya dipilihkan oleh guru secara acak tanpa mempertimbangkan keheterogenan siswa.

Pada gilirannya ketiga akar masalah di atas akan mengakibatkan rendahnya hasil belajar matematika khususnya konsep peluang siswa MA Mualimat NW Pancor. Oleh sebab itu ketiga permasalahan ini mendesak untuk secepatnya dipecahkan oleh guru.

Berdasarkan diagnosis dan akar masalah dari kelemahan siswa MA Mualimat NW Pancor di atas, maka dosen dan guru mendiskusikan langkah-langkah pemecahan masalah yang dianggap paling tepat yaitu; untuk mengatasi permasalahan rendahnya motivasi, hasil belajar, kurang terampilnya siswa berkomunikasi (bekerja sama dalam team work), kecenderungan siswa berlaku pasif dalam kegiatan belajar mengajar.
Berdasarkan hasil diskusi antara dosen dan guru (tim peneliti), salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini yaitu perlu adanya strategi pembelajaran yang lebih banyak ‘memberdayakan’ siswa (strategi pembelajaran yang student centre), serta strategi pembelajaran yang tidak hanya ‘urusan’ transfer ilmu pengetahuan belaka, tetapi juga memperhatikan relevansi matakuliah terhadap kehidupan sehari-hari siswa, sehingga motivasi siswa dalam belajar menjadi lebih meningkat. Selain itu pembelajaran ini juga harus mampu melatih siswa belajar dalam team work. Salah satu alternatif strategi pembelajaran yang dianggap mampu mengatasi semua kelemahan siswa di atas adalah pembelajaran kontekstual.

Dipilihnya pembelajaran kontekstual untuk memecahkan masalah di atas, karena pembelajaran kontekstual telah teruji keunggulannya baik terhadap hasil belajar maupun terhadap aspek lain seperti psikomotorik dan afektif. Hal tersebut didukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Mamengko (2002) yang menyimpulkan bahwa pendekatan kontekstual memungkinkan peserta didik terlibat secara langsung dalam memahami konsep-konsep mata pelajaran, sehingga dapat meningkatkan kemampuan perserta didik yang meliputi pengetahuan (produk), respon siswa dalam proses pembelajaran (proses) dan kinerja, serta kerja sama dalam kelompok.

Hal senada juga juga dinyatakan oleh Susilo (2001) yang menyatakan bahwa melalui pembelajaran kontekstual peserta didik dapat berlatih menekankan keterampilan berfikir tingkat tinggi, transfer pengetahuan lintas disiplin akademik, berlatih mengumpulkan, menganalisis, mensintesis informasi dan data dari berbagai sumber, dan dari berbagai sudut pandang. Selain itu menurut Nurhadi (2002) pembelajaran kontekstual membantu pendidik dan peserta didik mengkaitkan konten (isi) mata pelajaran dengan kehidupan sehari-hari peserta didik, hal ini tentunya akan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang ia dapatkan di kelas dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Pada gilirannya hal ini akan menyebabkan pembelajaran lebih menyenangkan dan menarik sehingga secara langsung akan berkorelasi terhadap hasil belajarnya.
Berdasarkan uraian di atas sebagai upaya meningkatkan kualitas pengajaran dan pembelajaran pada siswa MA Mualimat NW Pancor Lombok Timur NTB khususnya siswa kelas XI IPA peneliti merasa perlu melakukan penelitian yang berjudul “Meningkatkan Hasil Belajar Konsep Peluang Melalui Pendekatan Kontekstual Pada Siswa Kelas XI 1 MA Mualimat NW Pancor Lombok Timur

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan proses dan hasil penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika dal upaya memperbaiki dan meningkatkan hasil belajar siswa kelas XI IPA MA Mualimat NW Pancor Kabupupaten Lombok Timur propinsi Nusa Tenggara Barat.

Dengan adanya penelitian ini temuanya diharapkan dapat bermanfaat bagi siswa terutama dalam mengeleminasi kesulitan dalam belajar matematika, karena pemebalajaran ini secara teoritis dapat menumbuhkan minat belajar dan kebermaknaan belajar, sedangkan bagi guru temuan penelitian ini diharapakan sebagai bahan masukan mengenai model dan strategi pembelajaran kontekstual yang ideal, sehingga pada akhirnya diharapakan dihasilkan perbaikan mutu pengajaran di sekolah.

PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (classroom action research), Dalam rancangan penelitian ini sejumlah 45 siswa kelas XI IPA MA Mualimat NW Pancor ditetapkan sebagai subjek penelitian. Penentuan kelas ini ditentukan berdasarkan hasil wawancara dan observasi awal antara peneliti dengan guru bidang studi matematika dan kepala sekolah. Dimana berdasarkan hasil observasi awal tersebut didapatkan data bahwa permasalahan pembelajaran matematika yang harus segera dipecahkan adalah dikelas XI IPA. Pada kelas ini dalam kegiatan pembelajarannya menggunakan pendekatan kontekstual yang diperkuat (dikelola) dengan model pembelajaran 4E Martin (Eksplorasi, Eksplansi, Ekspansi, dan Evaluasi).

Instrumen yang digunakan untuk menjaring data penelitian ini terdiri dari (1) daftar chek pembelajaran kontekstual, (2) daftar chek pembelajaran 4E, (3) daftar asesment partisipasi siswa, (4) Format umpan balik siswa terhadap pembelajaran, dan (5) test hasil belajar. Semua instrumen di atas sebelum digunakan dilakukan ujicoba kepada mahasiswa bukan responden yang mempunyai kemiripan dengan responden untuk mengetahui validitas instrumen, reliabilitas instrumen, tingkat kesukaran soal, dan daya beda soal. Setelah didapatkan instrumen yang valid dan reliabel instrumen siap digunakan untuk menjaring data.
Implementasi penelitian ini direncanakan dalam bentuk implementasi rancangan model pada beberapa siklus yang terkait secara simultan. Setiap siklus merupakan dasar bagi perbaikan siklus berikutnya. Selama 8 bulan dilaksanakan 3 siklus, setiap siklus dengan rincian tahapan kegiatan sebagai berikut;

Tahap Perencanaan
Pada tahap ini langkah-langkah yang ditempuh ialah;
a.pemberian pembekalan kepada guru bidang studi tentang implementasi pembelajaran kontekstual di dalam kelas, b.peneliti utama (dosen) bersama-sama anggota peneliti (guru) menentukan tujuan pembelajaran,
c.Peneliti utama (dosen) bersama-sama anggota peneliti (guru) merancang dan menyusun desain/scenario pembelajaran kontekstual yang memungkinkan siswa memahami sub pokok bahasan I dengan menggunakan model skenario pembelajaran konstruktivisme 4 E oleh Martin, penyusunan skenario pembelajaran dilandasi oleh tujuh (7) komponen pembelajaran kontekstual (inquiry, konstruktivisme, bertanya, modelling, learning comunity, refleksi, autentic assesment), d.Peneliti utama (dosen) bersama-sama anggota peneliti (guru) menyiapkan alat peraga, bahan/alat praktik dan lembar kerja (work sheet) siswa yang diperlukan dalam pelaksanaan pembelajaran, e.Menyiapkan lembar observasi yang akan digunakan oleh pengamat pada saat pelaksanaan tindakan (lembar observasi ini meliputi daftar chek list pembelajaran kontekstual dan lembar chek list pembelajaran 4 E oleh Martin (eksplorasi, ekplanasi, ekspansi, evaluasi), daftar chek list aktivitas siswa selama pembelajaran, serta angket umpan balik kegiatan pembelajaran oleh siswa sebagai objek penelitian), selain itu pula disiapkan alat-alat pengumpul data yang lain seperti kamera, catatan anecdot untuk mencatat temuan-temuan penelitian yang tidak ter-cover oleh lembar observasi standard sebelumnya, f.Anggota peneliti (guru) melakukan microteaching (simulasi) dengan observer peneliti utama (dosen) dengan melibatkan paling sedikit satu guru yang lain selain anggota peneliti guna memperoleh ‘model’ pembelajaran kontekstual yang dianggap paling tepat sebelum dilaksanakan dalam tahap pelaksanaan tindakan di dalam kelas.

Tahap Pelaksanaan Tindakan
Pada tahap ini langkah-langkah yang ditempuh ialah;
a.guru dibantu dosen mengadakan pre tes, b.guru memberi motivasi kepada siswa dengan mengajukan pertanyaan secara lisan yang berkaitan dengan materi yang akan diajarkan untuk mengeksplorasi bekal awal siswa dalam belajar, dosen dan anggota peneliti yang lain berperan sebagai pengamat, c.guru memberi penjelasan singkat tentang kegiatan yang akan dilakukan, dosen dan anggota peneliti yang lain sebagai pengamat, d.guru membagi kelas atas beberapa kelompok siswa secara heterogen (baik dalam hal kemampuan, jenis kelamin, suku, agama, dll) (5 orang siswa), dosen dan anggota peneliti yang lain berperan sebagai pengamat, e.guru membagikan work sheet (lembar kerja) dan alat peraga dan bahan yang berisi tentang serangkaian kegiatan yang harus dilakukan siswa untuk menemukan sendiri ‘pola’ kemunculan (peluang) sebuah kejadian (misalnya peluang munculnya salah satu sisi mata uang logam, dan lain-lain) kepada masing-masing kelompok, dosen dan anggota peneliti yang lain berperan sebagai pengamat, f.siswa melakukan kegiatan secara berkelompok sesuai petunjuk work sheet tersebut, guru, anggota peneliti yang lain dan dosen membantu kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh siswa selama kegiatan tersebut, g.Setelah melakukan kegiatan berkelompok, siswa mendiskusikan hasil temuan pekerjaannya di kelas. Dosen dan anggota peneliti yang lain berperan sebagai pengamat, guru membimbing diskusi siswa, h.Guru membimbing diskusi siswa dalam menemukan ‘pola/ rumus’ yang efektif dan efisien untuk mengerjakan sebuah, permasalahan konsep peluang, dosen dan anggota peneliti yang lain berperan sebagai pengamat, i.Guru membimbing siswa menarik kesimpulan materi yang dipelajari, dosen dan anggota peneliti yang lain berperan sebagai pengamat
j.Sebagai tindakan ekspansi (pemantapan) guru membimbing siswa mengkaitkan konsep yang baru ia pelajari dengan kehidupan nyata sehari-hari siswa yang berkaitan dengan konsep peluang.
k.Guru meminta siswa mengadakan refleksi (penilaian diri) terhadap pelajaran yang baru dipelajari dengan mengisinya pada jurnal belajar yang telah disiapkan oleh siswa sebelumnya, serta memberikan masukan mengenai perbaikan pembelajaran untuk pertemuan yang baru saja dilaksanakan dengan cara mengisi angket umpan balik siswa mengenai kegiatan belajar mengajar yang baru dialami oleh siswa, l.Guru dan dosen mengadakan tes untuk materi siklus I

Tahap Pengamatan
Pada tahap ini langkah-langkah yang ditempuh ialah;
a.Selama proses pembelajaran berlangsung, peneliti mengadakan pengamatan terhadap kinerja siswa dengan menggunakan pedoman observasi aktifitas siswa yang dibuat terlebih dahulu oleh ketua peneliti bersama dengan guru (semua anggota peneliti). Temuan-temuan yang tidak ter-cover dalam lembar observasi ditulis dalam catatan anecdot. Peneliti utama (dosen) dan guru yang lain (anggota peneliti yang lain) mengadakan pengamatan terhadap aktivitas siswa melalui lembar observasi aktivitas siswa, juga mengamati pengajaran guru dengan menggunakan format chek list pengajaran kontekstual dan format chek list 4E Martin yang telah dibuat sebelumnya. Hal ini berguna untuk memberikan masukan perbaikan pembelajaran guru untuk silkus selanjutnya, b.Semua team peneliti (dosen dan guru) mengadakan pemantauan terhadap semua kegiatan siswa selama pembelajaran, c.Semua anggota peneliti (guru dan dosen) merangkum hasil tes dan hasil observasi yang dilakukan pada siklus I untuk memudahkan dalam merefleksi tindakan.

Tahap Refleksi Tindakan
Berdasarkan hasil evaluasi pada siklus I, peneliti utama bersama guru (semua anggota peneliti) mengkaji dan membahas hasil penilaian terhadap pelaksanaan tindakan berdasarkan standard keberhasilan yang telah ditetapkan sebelumnya (pengajaran dikatakan berhasil apabila 75% dari seluruh siswa mendapat nilai 6,5 ke atas). Bila ditemukan kendala-kendala dan permasalahan-permasalahan, maka semua anggota peneliti berdasarkan hasil pengamatan (observation) yang telah dilakukan selama pelaksanaan tindakan mencoba sharing ide untuk mencari solusi pemecahan permasalahan-permasalahan tersebut, kemudian solusi-solusi tersebut akan dijadikan dasar dari revisi perbaikan-perbaikan pembelajaran di dalam kelas yang kemudian hasil revisi perbaikan-perbaikan ini akan dituangkan dalam perencanaan tindakan untuk siklus berikutnya.
Keseluruhan data yang telah diperoleh, selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Proses analisis data secara kualitatif, sebagaimana dikemukakan Muhajir (1990) dilakukan berdasarkan analisis perbandingan data hasil yang terhimpun yang disimpulkan secara induktif-konseptual, dengan memperhatikan tahapan reduksi data, pengorganisasian atas data, dan interpretasi data. Data hasil keseluruhan siklus disusun dan ditabulasikan sesuai dengan tingkat ketercapaian indikator kinerja yang telah ditetapkan. Pada tahap ini peneliti akan memilah data sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan. Data yang telah dipilah, kemudian dideskripsikan sehingga dapat bermakna dan mudah dipahami. Hasil deskripsi disimpulkan dan disesuaikan dengan indikator kinerja penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan penggunaan pendekatan kontekstual dalam proses pembelajaran dimana pengelolaan pembelajarannya dengan menggunakan model 4E oleh martin. Selama pembelajaran peneliti berusaha mengacu kepada pemenuhan tujuh komponen pembelajaran kontekstual (konstruktivisme, inkuiri, learning comunity, modeling, questioning, refleksi dan autentic asessment) yang dintegrasikan dalam tahap-tahap pembelajaran 4E (eksplorasi, eksplanasi, ekspansi, evaluasi). Hasil dari pelaksanaan tiap siklus dipaparkan sebagai berikut;

Siklus I
Siklus I berlangsung selama 6 x 45 menit yang terdiri dari 3 kali pertemuan. Pada pertemuan 1 dengan materi Kaidah Pencacahan, suasana kelas tampak belum terbiasa dengan pola belajar secara kelompok, apalagi proses diskusi dan presentasi. Hal ini disebabkan pelajaran matematika sangat jarang dijadikan pembelajaran secara kelompok apalagi kemudian dipresentasikan. Siswa masih banyak yang bersikap pasif, hanya 2 kelompok saja yang tampaknya bisa mengutarakan pendapat dengan baik karena 2 kelompok tersebut masing-masing ketua kelompoknya adalah siswi terpandai di kelas.

Hal yang mengejutkan terjadi pada pertemuan ke-2, dengan materi definisi dan notasi faktorial. Hampir 70% siswi sudah mulai bisa mengikuti jalannya diskusi baik pada masing-masing kelompok maupun pada diskusi kelas. Kerjasama kelompok juga mulai bisa berjalan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena guru mengubah sistem penilaian, yaitu ada nilai bonus yang diberikan kepada kelompok yang memperoleh rata-rata nilai minimal 7,5. Dari nilai pre tes diperoleh ada 2 kelompok yang memperoleh nilai masih di bawah SKBM.

Pada pertemuan ke-3, agar hasil yang diperoleh semakin baik, guru membagi adanya kelompok ahli, yang terdiri dari ketua dari masing-masing kelompok dan kelompok besar yang tersiri dari anggota masing-masing kelompok. Kelompok ahli ini bertugas sebagai tutor sebaya, untuk mengantisipasi adanya siswi yang kurang bisa mengutarakan permasalahn yang dihadapi kepada gurunya. Diharapkan jika mereka bertanya dan dijelaskan oleh teman sebayanya sendiri mereka tidak ada rasa ‘sungkan’ lagi.

Hasil pos tes yang diadakan setelah pertemuan 3 diperoleh 51,5% siswi memperoleh nilai 6,5 dan dinyatakan mereka sudah tulntas belajar, sedangkan sisanya mendapat nilai di bawah 6,5 sehingga mereka dinyatakan belum tuntas belajar. Masih ada sekitar 48,9% siswi yang belum tuntas, dan siswi inilah yang nantinya harus mendapat perhatian lebih dari guru pada pembelajaran siklus II. Guru menyarankan agar semua tugas bisa selesai tapat pada waktunya, siswi harus membagi tugas dalam kelompoknya masing-masing, sehingga semua anggota kelompok bisa bekerja dengan baik.

Siklus II
Terdapat 13 siswi yang dinyatakan belum tuntas pada siklus I, ke-13 siswi ini dibagi menjadi 3 kelompok dan diletakkan sebagai kelompok 1, 2, dan3 dengan masing-masing ketua kelompoknya diambil dari ketua kelompok dengan nilai rata-rata tertinggi. Pertemuan 1 membahas tentang permutasi siklis. Sebelum masuk pada materi pelajaran guru mengadakan pre tes untuk materi permutasi, tujuannya selain untuk mengetahui tingkat pemahaman siswi terhadap materi permutasi juga karena materi selanjutnya masih berkaitan erat dengan permutasi. Siswi bersimulasi dalam masing-masing kelompoknya. Secara teorei semua siswi bisa menghitung banyaknya permutasi siklis menggunakan rumus (n-1)!, kesulitannya adalah menentukan macam-macam susunan yang ada. Dengan diskusi dan tanya jawab aktif siswi dibimbing untuk menemukan sendiri jawabannya.

Materi kombinasi dimulai guru dengan mendemonstrasikan cara mencampur car warna merah dan hijau. Dengan susunan: MERAH kemudian HIJAU dan susunan HIJAU kemudian MERAH, siswi diminta melihat apa warna campuran yang dihasilkan. Tujuan dari demonstrasi ini adalah agar siswi bisa menentukan perbedaan antara permutasi dan kombinasi, untuk selanjutnya siswi melakukan percobaan pada kelompoknya masing-masing.

Muncul pertanyaan pada pertemuan ketiga diantaranya ‘cara menentukan ruang sampel dan peluang kejadiannya jika yang dilempar lebih dari 1 koin’ jawaban muncul dari kelompok 1 bahwa jika lebih dari 1 koin yang dilempar, maka ruang sampelnya adalah semua kemungkinan sisi dari 2 koin yang bisa muncul.

Hasil pos tes pada siklus II diperoleh 68,8% siswi mendapat nilai di atas 6,5, jadi sekitar 31 siswi dinyatakan tuntas belajar. Sedang sisanya masih dinyatakan belum tuntas belajar. Guru memberikan tugas baru pada seluruh siswi untuk merangkum materi pelajaran yang akan dipelajari pada pertemuan selanjutnya, dari sini diharapkan siswi sudah benar-benar membaca dan tahu intisari dari apa yang dipelajari.

Siklus III
Siswi yang belum tuntas pada siklus II masih ada sekitar 14 siswi, terlalu besar jika dijadikan dalam 1 kelompok. Oleh karena itu mereka dikelompokkan dalam 2 kelompok dengan ketua kelompok tetap diambil dari kelompok dengan rata-rata tertinggi. Ada 3 materi yang akan dipelajari pada pertemuan 1, 2, dan 3 masing-masing adalah: peluang komplemen, aturan penjumlan peluang, dan aturan perkalian peluang.

Mungkin disebabkan semua siswi sudah terbiasa bekerja dalam kelompok dan juga sudah terbiasa mengeluarkan pendapat jadi muncul banyak pertanyaan baik pada pertemuan 1, 2, maupun 3. Pertanyaan diantaranya ‘ apakah hubungan antara peluang suatu kejadian dengan komplemennya?’, di awal pertemuan guru mengingatkan kembali siswi pada materi himpunan yang digambarkan dengan diagram Venn. Setelah siswi ingat kembali baru dihubungkan dengan materi peluang komplemen.

Jawaban pertanyaan muncul dari kelompok IV, mereka memisalkan dengan kejadian pelemparan sebuah dadu. Pada pelemparan sebuah dadu ruang sampel yang dihasilkan adalah {1, 2, 3, 4, 5, 6}, jika A adalah kejadian yang menyatakan peluang munculnya mata dadu genap maka anggotanya adalah {2, 4, 6}. Komplemen dari A dinotasikan dengan A’, berarti anggota dari A’ adalah {1, 3, 5}. Karena jawaban sudah benar guru tinggal memberikan penegasan saja.

Pertemuan 2 siswi melakukan percobaan dengan media seperangkat kartu bridge atau kartu remi dengan panduan LKS yang sudah dibagikan. Guru tetap mendampingi dan perhatian terutama pada kelompok 1 dan 2 yang ternyata mengalami peningkatan yang pesat.

Pertemuan ketiga diawali tetap dengan pemberian motivasi dan penyajian fenomena-fenomena yang relevan dengan materi pembelajaran. Di mana materi pada pertemuan tiga adalah aturan perkalian peluang.Ada kelompok yang bertanya ‘bagaimana menbedakan antara pengambilan dengan pengembalian dan pengambilan tanpa pengembalian terhadap hasil akhirnya’, ‘apa yang dimaksud dengan kejadian saling bebas’, dan ‘Apakah hubungan bentuk P(A) x P(B) dengan bentuk ’.

Munculnya banyak pertanyann disebabkan karena tingkat kompleksitas pada materi cukup tinggi, oleh karena itu siswi merasa sulit untuk memahaminya. Kelompok 1 mencoba menjawab pertanyaan kedua dan jawabannya bahwa kejadian akan saling bebas jika munculnya kejadian pertama tidak mempengaruhi munculnya kejadian kedua. Sedangkan jawaban pertanyaan nomor 1 datang dari kelompok V yaitu jika pengambilan dengan pengembalian maka hasil pengambilan pertama tidak akan mempengaruhi hasil pengambilan yang kedua, sedangkan jika pengambilan tanpa pengembalian maka anggotanya akan berkurang sehingga mempengaruhi hasil pengambilan berikutnya. Jawaban pertanyaan ketiga dari kelompok 2, bahwa antara bentuk dan bentuk P(A) x P(B) ada hubungan persamaan yang berbentuk = P(A) x P(B).

Guru menegaskan bahwa semua jawaban sudah benar dan kerjasama kelompok seluruh kelas sudah bagus, guru menambahkan jawaban berupa contoh untuk pertanyaan nomor 2. Misalkan percobaan melempar 2 buah dadu, peluang munculnya mata dadu 4 pada dadu pertama tidak akan mempengaruhi peluang munculnya mata dadu 3 pada dadu kedua. Sedangkan jawaban yang lain sudah benar, jawaban pertanyaan nomor 3 bahwa ada hubungan persamaan untuk bentuk = P(A) x P(B) dan bahwa antara kejadian A dan B adalah dua kejadian yang saling bebas.

Tingkat ketuntasan belajar secara klasikal pada siklus III mencapai 88,8% atau sebanyak 40 orang siswa dari 45 siswa memperoleh nilai di atas 65. Hasil ini berarti lebih besar dari syarat yang ditentukan yaitu 75% dari jumlah total kelas. Hanya 12,2 % siswa yang belum tuntas, dan itupun nilai yang dicapai oleh mereka di atas 50. Karena ketuntasannya sudah mencapai lebih dari 75% maka proses pembelajaran ini sudah dianggap berhasil.

PEMBAHASAN
Hasil analisis pada setiap siklus menunjukkan ada kemajuan tentang hasil belajar konsep peluang oleh siswa kelas XI IPA MA Mualimat NW Pancor Kabupaten Lombok Timur NTB. Hal ini terlihat pada perolehan hasil pos tes siswa dari siklus I, siklus II, dan siklus III yang telah diuraikan pada sub bab paparan data hasil penelitian sebelumnya. Bila dilihat dari ketuntasan belajar siswa secara klasikal berarti bila telah terdapat 75% (penentuan ini berdasarkan SKBM dimusawarahkan dengan siswa dengan mempertimbangkan faktor esensial, kompleksitas, sarana dan prasarana, dan intake siswa). Merujuk pada ketentuan tersebut pada setiap siklus, ketuntasan belajar klasikal sebesar 51,5% pada siklus I, 68.8% pada siklus II, dan 88,8% pada siklus III.

Dari data tersebut di atas terdapat peningkatah hasil belajar konsep peluang yang cukup baik. Peningkatan ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual pada mata pelajaran matematika dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas XI IPA MA Mualimat NW Pancor Lombok Timur NTB.

Hasil temuan ini dapat dijelaskan sebagai berikut; pembelajaran kontekstual memungkinkan siswa memperoleh dan mengkonstruksi sendiri konsep dengan diajak melakukan dan menemuka sendiri konsep (menemukan matematika dengan berbuat matematika) selain itu pengaitan konsep baru dengan konsep lama yang dimilki oleh siswa ditenggarai membantu siswa mengendapkan konsep lebih lama dalam memori jangka panjang mereka. Seperti dijelaskan oleh (Dahar, 1988) bahwa beberapa cara yang dapat dilakukan oleh guru (baca dosen) untuk membantu mahasiswanya menyimpan konsep dalam memori jangka panjang dengan cara (1) pengulangan, (2) preposisi, yaitu mata pelajaran dipahami sebagi gagasan penting, (3) bayangan imagery, mata pelajaran akan disimpan dalam memori jangka panjang jika mata pelajaran tersebut dicari dan dilakukan sendiri oleh siswa untuk mencari bayangan mental secara konkret, (4) produksi, (5) mengaitkan informasi baru dengan informasi lama. Temuan ini sejalan dengan pendapat Corebima (2002) yang mengemukkan bahwa dengan pendekatan kontekstual memungkinkan peserta didik memperkuat, mengembangkan dan meningkatkan kemampuan akademik.

Menurut De Lange dalam (Nur 2001) ada dua aspek penting dari pembelajaran matematika yaitu; pertama menekankan pada pengalaman konkret untuk mevalidasi dan menguji konsep matematika abstrak, aspek kedua menekankan pada aspek umpan balik selama pembentukan gagasan matematika (lihat Gambar 2 pada Bab 2 sebelumnya). Pendapat serupa juga dinyatakan oleh Kolb (1984) yang menyatakan bahwa belajar matematika merupakan proses dimana pengetahuan berupa hasil belajar yang diciptakan sendiri oleh siswa, sehingga siswa harus aktif berinteraksi dengan lingkungan belajarnya.

Menurut Goldin dalam Nur (2001) matematika ditemukan dan dibangun oleh manusia, sehingga di dalam pembelajaran matematika harus terlebih dahulu dibangun sendiri oleh siswa dan bukan ditanamkan oleh guru. Pembelajaran matematika seharusnya menurut Goldin adalah membantu siswa untuk ‘menemukan’ kembali matematika dengan ‘berbuat’ matematika. Oleh karena itu pembelajaran matematika seharusnya berangkat dari ‘karakteristik asli’ matematika itu sendiri, yaitu merupakan seperangkat alat untuk pemeriksaan, penganalisisan, dan peramalan perilaku sistem dunia nyata. Maka seharusnya pembelajaran matematika haruslah dimulai dari situasi masalah nyata yang dapat mereka bayangkan atau paling sedikit memiliki hubungan dengan dunia nyata. Dunia nyata yang dimkasud dalam hal ini, dapat berupa media pembelajaran, model, atau benda nyata yang dapat dimanipulasi. Konsekuensi logis dari penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika adalah meningkatnya hasil belajar.

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil temuan penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut; penggunaan pendekatan dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan hasil belajar matematika konsep peluang pada siswa kelas XI IPA MA Mualimat NW Pancor kabupaten Lombok Timur NTB.

Saran
Dari hasil temuan penelitian dapat disarankan hal-hal sebagai berikut; (1) dalam rangka memberdayakan kemampuan bernalar mahasiswa khususnya pada mahasiswa semester awal, para dosen dapat mempertimbangkan untuk menerapkan pendekatan kontekstual dengan kombinasi kooperatif learning, (2) bagi penelitian lebih lanjut agar dapat dilakukan penelitian lanjutan mengenai keefektifan pendekatan kontekstual melalui kooperatif terhadap kemampuan berpikir lainnya seperti kemampuan evaluasi yang nota bene adalah ketrampilan berpikir yang tertinggi menurut taksonomi Bloom. Sehingga dapat memberikan sumbangan yang berharga bagi pengembangan pendidikan.

MiC Melalui Learning Cycle untuk Meningkatkan Pemahaman dan Aplikasi Konsep Matematika

Penerapan MiC Melalui Learning Cycle untuk Meningkatkan Pemahaman dan Aplikasi Konsep Matematika Siswa MA NW Pancor Lombok Timur NTB


Oleh:
Eni Titikusumawati
Nurhasanah
Syarifudin

Diprensentasikan Pada Seminar Nasional Hasil PTK Terpilih
Hotel Ina Garuda Jogjakarta 11-13 Maret 2008

Sumber Dana:
Hibah Penelitian Tindakan Kelas
P2TK&KPT Dirjend Dikti 2006



PENDAHULUAN
Belajar merupakan pemrosesan informasi oleh siswa. Prosesnya melalui persepsi, penyimpanan informasi, dan pemanfaatan kembali informasi tersebut untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Belajar merupakan kegiatan aktif siswa dalam membangun makna atau pemahaman. Dengan demikian guru, perlu memberikan dorongan kepada siswa untuk menggunakan otoritasnya dalam membangun gagasan. Selain itu seorang guru bertanggung jawab pula untuk ‘menciptakan’ situasi yang mendorong prakarsa, motivasi, dan tanggung jawab siswa untuk belajar sepanjang hayat.
Berdasarkan uraian di atas jelas terlihat bahwa siswa merupakan ‘aktor utama’ dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain pemahaman konsep siswa terhadap mata pelajaran tergantung sepenuhnya pada diri siswa, mereka harus dapat memanfaatkan situasi yang diciptakan guru yang berperan sebagai fasilitator. Guru sebagai fasilitator mutlak harus menguasai metode/teknik pembelajaran yang efektif, efisien dan tepat sasaran.
Penentuan metode/teknik mengajar yang akan digunakan harus senantiasa diawali dari situasi real (nyata) di dalam kelas. Bila situasi dan suasana di dalam kelas berubah maka metode/tekhnik mengajar pun juga harus berubah. Karena itulah seorang guru sebagai ”pengendali” kegiatan belajar mengajar di dalam kelas harus menguasai dan tahu kelebihan dan kekurangan beberapa macam metode pengajaran dengan baik, sehingga guru mampu memilih dan menerapkan metode pengajaran yang dinilai paling efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Perubahan situasi dan tujuan pembelajaran di dalam kelas memerlukan kepekaan guru, artinya seorang guru harus mampu mendiagnosis masalah yang muncul dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Selain itu guru juga dituntut mampu menganalisis dan mendeskripsikan penyebab dari masalah tersebut serta mampu memilih metode yang paling tepat untuk digunakan memecahkan masalah tersebut.
Dalam penelitian ini peneliti berusaha berangkat dari hal-hal yang telah diuraikan di atas. Lokasi penelitian dipilih MA NW Pancor dengan pertimbangan sekolah ini merupakan sekolah binaan STKIP Hamzanwadi Selong, selain itu sekolah ini termasuk sekolah dalam kelompok kategori sekolah dengan kualitas menengah menuju rendah, sehingga peneliti beranggapan banyak permasalahan-permasalahan pembelajaran yang mendesak untuk segera dipecahkan di sekolah ini.
Karena lokasi penelitian berada pada sekolah menengah (MA NW Pancor) dimana peneliti utama tidak mengetahui secara real (nyata) permasalahan yang muncul di dalam kelas selama pembelajaran, untuk itu peneliti perlu melibatkan beberapa guru matematika MA NW Pancor sebagai mitra sejajar dalam penelitian ini. Untuk itu peneliti perlu melakukan kunjungan awal ke sekolah tersebut guna mencari masukan tentang permasalahan-permasalahan pembelajaran matematika yang sering muncul di sekolah tersebut. Berdasarkan hasil kunjungan awal tersebut disepakati bersama bahwa permasalahan pembelajaran matematika yang segera ditangani difokuskan pada siswa kelas XI terutama pada kelas XI Bahasa karena kelas ini dinilai paling “bermasalah’ bila dibandingkan dengan kelas-kelas yang lain. Setelah dipilih kelas XI Bahasa dosen sebagai peneliti utama melakukan wawancara sejajar dengan guru matematika kelas tersebut sebagai anggota peneliti mengenai permasalahan-permasalahan yang dihadapi selama pembelajaran, selain itu dosen (peneliti utama) juga mengikuti kegiatan belajar mengajar di dalam kelas selama beberapa kali pertemuan, untuk melihat kondisi sebenarnya di dalam kelas. Berdasarkan pengamatan langsung di dalam kelas dan wawancara dengan guru dan siswa. Dosen bersama guru sebagai tim peneliti mendiagnosis bersama permasalahan-permasalahan yang muncul selama proses pembelajaran di dalam kelas serta menganalisis akar masalahnya serta mencoba sharing ide guna mencari alternative pemecahan masalah yang dianggap paling tepat, efektif dan efisien.
Dari hasil kegiatan observasi awal dan wawancara dengan guru pengajar matematika yang telah disebutkan di atas, menunjukkan bahwa sebagian besar siswa mempunyai kelemahan yang hampir sama yaitu, (1)siswa mengalami kesulitan dalam memahami konsep matematika terutama dalam operasi kaidah pencacahan yang merupakan dasar dari matematika konsep peluang, (2) siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan konsep kaidah pencacahan dalam menyelesaikan masalah matematika konsep peluang, baik masalah yang disimulasikan oleh guru, maupun masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-harinya, sehingga ketika siswa sudah berhadapan dengan suatu soal cerita, siswa tidak tahu apakah soal itu akan diselesaikan secara permutasi atau kombinasi, (3) siswa kurang termotivasi untuk belajar matematika akibatnya siswa cenderung berlaku pasif selama pembelajaran sehingga pembelajaran di dalam kelas kental dengan nuansa teacher center. Ketiga kelemahan siswa di atas berdasarkan hasil diskusi dosen dengan guru diduga berasal dari akar masalah sebagai berikut; (1) pada umumnya sebagian besar guru baik pada sekolah dasar maupun menengah lebih menekankan pada strategi pembelajaran teacher centre yaitu strategi yang menekankan pembelajaran berpusat pada guru, sehingga hal ini menyebabkan tidak “teraktifkannya” potensi dan kemampuan siswa dengan maksimal, siswa hanya sebagai pendengar, seperti botol kosong yang dituangi air. Hal ini menyebabkan siswa menjadi cenderung pasif dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, selain itu hal ini akan mengakibatkan hasil belajar siswa menjadi rendah, karena mereka kurang dilibatkan dalam membangun konsep sendiri (2) kebanyakan guru mengajar dengan menggunakan buku paket seperti menggunakan buku ‘resep masakan’, mereka mengajarkan matematika halaman per halaman sesuai dengan yang tertulis dalam buku paket yang cenderung ‘mekanistik dan strukturalistik’ sehingga hal ini mengakibatkan siswa hanya bekerja secara prosedural dan menghafal matematika tanpa ‘penalaran’, sehingga kemampuan pemahaman dan kemampuan aplikasi konsep matematika siswa menjadi sangat rendah,. (3) materi pelajaran yang cenderung hafalan menyebabkan siswa tidak tahu relevansi materi pelajaran yang ia pelajari dengan kehidupan sehari-harinya sehingga materi pelajaran hanya ada dalam angan-angan (utopis) tanpa bisa diterapkan dalam dunia nyata dan kehidupan sehari-hari mereka, sehingga motivasi siswa untuk ”tahu” menjadi menurun.
Pada gilirannya ketiga akar masalah di atas akan mengakibatkan rendahnya hasil belajar matematika khususnya konsep peluang siswa MA NW Pancor. Oleh sebab itu ketiga permasalahan ini mendesak untuk secepatnya dipecahkan oleh guru.
Berdasarkan diagnosis dan akar masalah dari kelemahan siswa MA NW Pancor di atas, maka dosen dan guru mendiskusikan langkah-langkah pemecahan masalah yang dianggap paling tepat yaitu; untuk mengatasi permasalahan rendahnya motivasi, hasil belajar, kurang terampilnya siswa berkomunikasi (bekerja sama dalam team work), kecenderungan siswa berlaku pasif dalam kegiatan belajar mengajar.
Berdasarkan hasil diskusi antara dosen dan guru (tim peneliti), salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini yaitu perlu adanya strategi pembelajaran yang lebih banyak ‘memberdayakan’ siswa (strategi pembelajaran yang student centre), serta strategi pembelajaran yang tidak hanya ‘urusan’ transfer ilmu pengetahuan belaka, tetapi juga memperhatikan relevansi matakuliah terhadap kehidupan sehari-hari siswa, sehingga motivasi siswa dalam belajar menjadi lebih meningkat. Selain itu pembelajaran ini juga harus mampu melatih siswa belajar dalam team work. Salah satu alternatif strategi pembelajaran yang dianggap mampu mengatasi semua kelemahan siswa di atas adalah pembelajaran Mathematic in Contex (MiC) melalui strategi Learning Cycle.
Dipilihnya pembelajaran Mathematic in Contex (MiC)untuk memecahkan masalah di atas, karena pembelajaran Mathematic in Contex (MiC) telah teruji keunggulannya baik terhadap hasil belajar maupun terhadap aspek lain seperti psikomotorik dan afektif. Hal tersebut didukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Mamengko (2002) yang menyimpulkan bahwa pendekatan Mathematic in Contex (MiC) memungkinkan peserta didik terlibat secara langsung dalam memahami konsep-konsep mata pelajaran, sehingga dapat meningkatkan kemampuan perserta didik yang meliputi pengetahuan (produk), respon siswa dalam proses pembelajaran (proses) dan kinerja, serta kerja sama dalam kelompok.
Hal senada juga juga dinyatakan oleh Susilo (2001) yang menyatakan bahwa melalui pembelajaran Mathematic in Contex (MiC) peserta didik dapat berlatih menekankan keterampilan berfikir tingkat tinggi, transfer pengetahuan lintas disiplin akademik, berlatih mengumpulkan, menganalisis, mensintesis informasi dan data dari berbagai sumber, dan dari berbagai sudut pandang. Selain itu menurut Nurhadi (2002) pembelajaran Mathematic in Contex (MiC) membantu pendidik dan peserta didik mengkaitkan konten (isi) mata pelajaran dengan kehidupan sehari-hari peserta didik, hal ini tentunya akan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang ia dapatkan di kelas dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Pada gilirannya hal ini akan menyebabkan pembelajaran lebih menyenangkan dan menarik sehingga secara langsung akan berkorelasi terhadap hasil belajarnya.
Berdasarkan uraian di atas sebagai upaya meningkatkan kualitas pengajaran dan pembelajaran pada siswa MA NW Pancor Lombok Timur NTB khususnya siswa kelas XI BAHASA peneliti merasa perlu melakukan penelitian yang berjudul “Penerapan MIC Melalui Learning Cycle untuk Meningkatkan pemahaman dan Aplikasi Konsep Matematika Siswa MA NW Pancor.”

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan proses dan hasil penerapan pendekatan Mathematic in Contex (MiC) dalam pembelajaran matematika dal upaya memperbaiki dan meningkatkan hasil belajar siswa kelas XI Bahasa MA NW Pancor Kabupupaten Lombok Timur propinsi Nusa Tenggara Barat.
Dengan adanya penelitian ini temuanya diharapkan dapat bermanfaat bagi siswa terutama dalam mengeleminasi kesulitan dalam belajar matematika, karena pemebalajaran ini secara teoritis dapat menumbuhkan minat belajar dan kebermaknaan belajar, sedangkan bagi guru temuan penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan mengenai model dan strategi pembelajaran Mathematic in Contex (MiC) yang ideal, sehingga pada akhirnya diharapakan dihasilkan perbaikan mutu pengajaran di sekolah.

PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (classroom action research), Dalam rancangan penelitian ini sejumlah 43 siswa kelas XI Bahasa MA NW Pancor ditetapkan sebagai subjek penelitian. Penentuan kelas ini ditentukan berdasarkan hasil wawancara dan observasi awal antara peneliti dengan guru bidang studi matematika dan kepala sekolah. Di mana berdasarkan hasil observasi awal tersebut didapatkan data bahwa permasalahan pembelajaran matematika yang harus segera dipecahkan adalah dikelas XI Bahasa. Pada kelas ini dalam kegiatan pembelajarannya menggunakan pendekatan Mathematic in Contex (MiC) melalui strategi learningcycle.
Instrumen yang digunakan untuk menjaring data penelitian ini terdiri dari (1) daftar chek pembelajaran Mathematic in Contex (MiC), (2) daftar chek pembelajaran 4E, (3) daftar asesment partisipasi siswa, (4) Format umpan balik siswa terhadap pembelajaran, dan (5) test hasil belajar. Semua instrumen di atas sebelum digunakan dilakukan ujicoba kepada siswa bukan responden yang mempunyai kemiripan dengan responden untuk mengetahui validitas instrumen, reliabilitas instrumen, tingkat kesukaran soal, dan daya beda soal. Setelah didapatkan instrumen yang valid dan reliabel instrumen siap digunakan untuk menjaring data.
Implementasi penelitian ini direncanakan dalam bentuk implementasi rancangan model pada beberapa siklus yang terkait secara simultan. Setiap siklus merupakan dasar bagi perbaikan siklus berikutnya. Selama 8 bulan dilaksanakan 3 siklus, setiap siklus dengan rincian tahapan kegiatan sebagai berikut;

Tahap Perencanaan
Pada tahap ini langkah-langkah yang ditempuh ialah;
a.pemberian pembekalan kepada guru bidang studi tentang implementasi pembelajaran Mathematic in Contex (MiC) di dalam kelas
b.peneliti utama (dosen) bersama-sama anggota peneliti (guru) menentukan tujuan pembelajaran.
c.Peneliti utama (dosen) bersama-sama anggota peneliti (guru) merancang dan menyusun desain/scenario pembelajaran Mathematic in Contex (MiC), yang memungkinkan siswa memahami sub pokok bahasan I dengan menggunakan model skenario pembelajaran learningcycle, penyusunan skenario pembelajaran dilandasi oleh tujuh (7) komponen pembelajaran kontekstual (inquiry, konstruktivisme, bertanya, modelling, learning comunity, refleksi, autentic assesment) .
d.Peneliti utama (dosen) bersama-sama anggota peneliti (guru) menyiapkan alat peraga, bahan/alat praktik dan lembar kerja (work sheet) siswa yang diperlukan dalam pelaksanaan pembelajaran.
e.Menyiapkan lembar observasi yang akan digunakan oleh pengamat pada saat pelaksanaan tindakan (lembar observasi ini meliputi daftar chek list pembelajaran Mathematic in Contex (MiC) dan lembar chek list pembelajaran learningcyle (eksplorasi, ekplanasi, ekspansi, evaluasi), daftar chek list aktivitas siswa selama pembelajaran, serta angket umpan balik kegiatan pembelajaran oleh siswa sebagai objek penelitian), selain itu pula disiapkan alat-alat pengumpul data yang lain seperti kamera, catatan anecdot untuk mencatat temuan-temuan penelitian yang tidak ter-cover oleh lembar observasi standard sebelumnya.
f.Anggota peneliti (guru) melakukan microteaching (simulasi) dengan observer peneliti utama (dosen) dengan melibatkan paling sedikit satu guru yang lain selain anggota peneliti guna memperoleh ‘model’ pembelajaran Mathematic in Contex (MiC) yang dianggap paling tepat sebelum dilaksanakan dalam tahap pelaksanaan tindakan di dalam kelas.

Tahap Pelaksanaan Tindakan
Pada tahap ini langkah-langkah yang ditempuh ialah;
a.guru dibantu dosen mengadakan pre tes
b.guru memberi motivasi kepada siswa dengan mengajukan pertanyaan secara lisan yang berkaitan dengan materi yang akan diajarkan untuk mengeksplorasi bekal awal siswa dalam belajar, dosen dan anggota peneliti yang lain berperan sebagai pengamat
c.guru memberi penjelasan singkat tentang kegiatan yang akan dilakukan, dosen dan anggota peneliti yang lain sebagai pengamat
d.guru membagi kelas atas beberapa kelompok siswa secara heterogen (baik dalam hal kemampuan, jenis kelamin, suku, agama, dll) (5 orang siswa), dosen dan anggota peneliti yang lain berperan sebagai pengamat
e.guru membagikan work sheet (lembar kerja) dan alat peraga dan bahan yang berisi tentang serangkaian kegiatan yang harus dilakukan siswa untuk menemukan sendiri ‘pola’ kemunculan (peluang) sebuah kejadian (misalnya peluang munculnya salah satu sisi mata uang logam, dan lain-lain) kepada masing-masing kelompok, dosen dan anggota peneliti yang lain berperan sebagai pengamat
f.siswa melakukan kegiatan secara berkelompok sesuai petunjuk work sheet tersebut, guru, anggota peneliti yang lain dan dosen membantu kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh siswa selama kegiatan tersebut.
g.Setelah melakukan kegiatan berkelompok, siswa mendiskusikan hasil temuan pekerjaannya di kelas. Dosen dan anggota peneliti yang lain berperan sebagai pengamat, guru membimbing diskusi siswa
h.Guru membimbing diskusi siswa dalam menemukan ‘pola/ rumus’ yang efektif dan efisien untuk mengerjakan sebuah permasalahan konsep peluang, dosen dan anggota peneliti yang lain berperan sebagai pengamat.
i.Guru membimbing siswa menarik kesimpulan materi yang dipelajari, dosen dan anggota peneliti yang lain berperan sebagai pengamat
j.Sebagai tindakan ekspansi (pemantapan) guru membimbing siswa mengkaitkan konsep yang baru ia pelajari dengan kehidupan nyata sehari-hari siswa yang berkaitan dengan konsep peluang.
k.Guru meminta siswa mengadakan refleksi (penilaian diri) terhadap pelajaran yang baru dipelajari dengan mengisinya pada jurnal belajar yang telah disiapkan oleh siswa sebelumnya, serta memberikan masukan mengenai perbaikan pembelajaran untuk pertemuan yang baru saja dilaksanakan dengan cara mengisi angket umpan balik siswa mengenai kegiatan belajar mengajar yang baru dialami oleh siswa.
l.Guru dan dosen mengadakan tes untuk materi siklus I

Tahap Pengamatan
Pada tahap ini langkah-langkah yang ditempuh ialah;
a.Selama proses pembelajaran berlangsung, peneliti mengadakan pengamatan terhadap kinerja siswa dengan menggunakan pedoman observasi aktifitas siswa yang dibuat terlebih dahulu oleh ketua peneliti bersama dengan guru (semua anggota peneliti). Temuan-temuan yang tidak ter-cover dalam lembar observasi ditulis dalam catatan anecdot. Peneliti utama (dosen) dan guru yang lain (anggota peneliti yang lain) mengadakan pengamatan terhadap aktivitas siswa melalui lembar observasi aktivitas siswa, juga mengamati pengajaran guru dengan menggunakan format chek list pengajaran kontekstual dan format chek list learningcycle yang telah dibuat sebelumnya. Hal ini berguna untuk memberikan masukan perbaikan pembelajaran guru untuk silkus selanjutnya.
b.Semua team peneliti (dosen dan guru) mengadakan pemantauan terhadap semua kegiatan siswa selama pembelajaran
c.Semua anggota peneliti (guru dan dosen) merangkum hasil tes dan hasil observasi yang dilakukan pada siklus I untuk memudahkan dalam merefleksi tindakan.

Tahap Refleksi Tindakan
Berdasarkan hasil evaluasi pada siklus I, peneliti utama bersama guru (semua anggota peneliti) mengkaji dan membahas hasil penilaian terhadap pelaksanaan tindakan berdasarkan standard keberhasilan yang telah ditetapkan sebelumnya (pengajaran dikatakan berhasil apabila 85% dari seluruh siswa mendapat nilai 65 ke atas). Bila ditemukan kendala-kendala dan permasalahan-permasalahan, maka semua anggota peneliti berdasarkan hasil pengamatan (observation) yang telah dilakukan selama pelaksanaan tindakan mencoba sharing ide untuk mencari solusi pemecahan permasalahan-permasalahan tersebut, kemudian solusi-solusi tersebut akan dijadikan dasar dari revisi perbaikan-perbaikan pembelajaran di dalam kelas yang kemudian hasil revisi perbaikan-perbaikan ini akan dituangkan dalam perencanaan tindakan untuk siklus berikutnya.
Keseluruhan data yang telah diperoleh, selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Proses analisis data secara kualitatif, sebagaimana dikemukakan Muhajir (1990) dilakukan berdasarkan analisis perbandingan data hasil yang terhimpun yang disimpulkan secara induktif-konseptual, dengan memperhatikan tahapan reduksi data, pengorganisasian atas data, dan interpretasi data. Data hasil keseluruhan siklus disusun dan ditabulasikan sesuai dengan tingkat ketercapaian indikator kinerja yang telah ditetapkan. Pada tahap ini peneliti akan memilah data sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan. Data yang telah dipilah, kemudian dideskripsikan sehingga dapat bermakna dan mudah dipahami. Hasil deskripsi disimpulkan dan disesuaikan dengan indikator kinerja penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan penggunaan pendekatan Mathematic in Contex (MiC) dalam proses pembelajaran dimana pengelolaan pembelajarannya dengan menggunakan stategi learningcycle. Selama pembelajaran peneliti berusaha mengacu kepada pemenuhan komponen-komponen pembelajaran MiC di dalam kelas, yaitu sebagai berikut: (1) menggunakan konteks nyata sebagai titik awal belajar, (2) menggunakan model untuk menjembatani konsep matematika yang konkret (real) dan abstrak, (3) belajar dalam suasana demokratif dan interaktif, (4) menghargai jawaban informal siswa sebelum mereka mencapai bentuk formal matematika (Nur, 2001). Keempat komponen tersebut diintegrasikan melalui strtegi learningcycle yang meliputi tahap-tahap pembelajaran sebagai berikut: eksplorasi, eksplanasi, ekspansi, dan evaluasi. Hasil dari implementasi tiap siklus akan dipaparkan sebagai berikut:

Siklus I
Siklus I berlangsung selama 2 x 45 menit yang terdiri dari 3 kali pertemuan. Pada pertemuan 1 dengan materi Kaidah Pencacahan, suasana kelas tampak belum terbiasa dengan pola belajar secara kelompok, apalagi proses diskusi dan presentasi. Hal ini disebabkan pelajaran matematika sangat jarang dijadikan pembelajaran secara kelompok apalagi kemudian dipresentasikan. Siswa masih banyak yang bersikap pasif, hanya 2 kelompok saja yang tampaknya bisa mengutarakan pendapat dengan baik karena 2 kelompok tersebut masing-masing ketua kelompoknya adalah siswi terpandai di kelas.
Hal yang mengejutkan terjadi pada pertemuan ke-2, dengan materi definisi dan notasi faktorial. Hampir 70% siswi sudah mulai bisa mengikuti jalannya diskusi baik pada masing-masing kelompok maupun pada diskusi kelas. Kerjasama kelompok juga mulai bisa berjalan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena guru mengubah sistem penilaian, yaitu ada nilai bonus yang diberikan kepada kelompok yang memperoleh rata-rata nilai minimal 7,5. Dari nilai pre tes diperoleh ada 2 kelompok yang memperoleh nilai masih di bawah SKBM.
Pada pertemuan ke-3, agar hasil yang diperoleh semakin baik, guru membagi adanya kelompok ahli, yang terdiri dari ketua dari masing-masing kelompok dan kelompok besar yang tersiri dari anggota masing-masing kelompok. Kelompok ahli ini bertugas sebagai tutor sebaya, untuk mengantisipasi adanya siswi yang kurang bisa mengutarakan permasalahn yang dihadapi kepada gurunya. Diharapkan jika mereka bertanya dan dijelaskan oleh teman sebayanya sendiri mereka tidak ada rasa ‘sungkan’ lagi.
Hasil pos tes yang diadakan setelah pertemuan 3 diperoleh 42,5% siswi memperoleh nilai 65 dan dinyatakan mereka sudah tulntas belajar, sedangkan sisanya mendapat nilai di bawah 65 sehingga mereka dinyatakan belum tuntas belajar. Masih ada sekitar 57.5% siswa yang belum tuntas, dan siswa inilah yang nantinya harus mendapat perhatian lebih dari guru pada pembelajaran siklus II. Guru menyarankan agar semua tugas bisa selesai tapat pada waktunya, siswi harus membagi tugas dalam kelompoknya masing-masing, sehingga semua anggota kelompok bisa bekerja dengan baik.

Siklus II
Terdapat 13 siswi yang dinyatakan belum tuntas pada siklus I, ke-13 siswi ini dibagi menjadi 3 kelompok dan diletakkan sebagai kelompok 1, 2, dan3 dengan masing-masing ketua kelompoknya diambil dari ketua kelompok dengan nilai rata-rata tertinggi. Pertemuan 1 membahas tentang permutasi siklis. Sebelum masuk pada materi pelajaran guru mengadakan pre tes untuk materi permutasi, tujuannya selain untuk mengetahui tingkat pemahaman siswi terhadap materi permutasi juga karena materi selanjutnya masih berkaitan erat dengan permutasi. Siswi bersimulasi dalam masing-masing kelompoknya. Secara teorei semua siswi bisa menghitung banyaknya permutasi siklis menggunakan rumus (n-1)!, kesulitannya adalah menentukan macam-macam susunan yang ada. Dengan diskusi dan tanya jawab aktif siswi dibimbing untuk menemukan sendiri jawabannya.
Materi kombinasi dimulai guru dengan mendemonstrasikan cara mencampur car warna merah dan hijau. Dengan susunan: MERAH kemudian HIJAU dan susunan HIJAU kemudian MERAH, siswi diminta melihat apa warna campuran yang dihasilkan. Tujuan dari demonstrasi ini adalah agar siswi bisa menentukan perbedaan antara permutasi dan kombinasi, untuk selanjutnya siswi melakukan percobaan pada kelompoknya masing-masing.
Muncul pertanyaan pada pertemuan ketiga diantaranya ‘jika koin dan dadu bisa dituliskan ruang sampelnya dalam bentuk diagram pohon dan tabel, apakah bisa juga jika kita menuliskan ruang sampel kartu bernama dan kartu bridge?”. Jawaban siswa dari kelompok yang lain adalah,” Tidak bisa, karena pada kartu bernama atau kartu bridge sangat banyak jumlahnya sehingga kesulitan jika harus ditulis dalam bentuk diaram pohon.”
Hasil pos tes pada siklus II diperoleh 70% siswi mendapat nilai di atas 65, jadi sekitar 28 dari 43 siswa dinyatakan tuntas belajar. Sedang sisanya masih dinyatakan belum tuntas belajar. Guru memberikan tugas baru pada seluruh siswa untuk merangkum materi pelajaran yang akan dipelajari pada pertemuan selanjutnya, dari sini diharapkan siswi sudah benar-benar membaca dan tahu intisari dari apa yang dipelajari.

Siklus III
Siswa yang belum tuntas pada siklus II masih ada sekitar 15 siswa, terlalu besar jika dijadikan dalam 1 kelompok. Oleh karena itu mereka dikelompokkan dalam 2 kelompok dengan ketua kelompok tetap diambil dari kelompok dengan rata-rata tertinggi. Ada 3 materi yang akan dipelajari pada pertemuan 1, 2, dan 3 masing-masing adalah: peluang komplemen, aturan penjumlan peluang, dan aturan perkalian peluang.
Mungkin disebabkan semua siswa sudah terbiasa bekerja dalam kelompok dan juga sudah terbiasa mengeluarkan pendapat jadi muncul banyak pertanyaan baik pada pertemuan 1, 2, maupun 3. Pertanyaan diantaranya ‘rumus ke-2 untuk menentukan komplemen suatu kejadian siperoleh angka 1 darimana?”.
Jawaban pertanyaan muncul dari kelompok V, ”Angka 1 berasal dari nilai pasti dari suatu kejadian, sehingga jika nilai pasti kejadian dikurangi dengan kejadian yang sudah dimisalkan, maka hasilnya adalah komplemen daru suatu kejadian tersebut.”
Pertemuan 2 siswa melakukan percobaan dengan media seperangkat kartu bridge atau kartu remi dengan panduan LKS yang sudah dibagikan. Guru tetap mendampingi dan perhatian terutama pada kelompok 1 dan 2 yang ternyata mengalami peningkatan yang pesat.
Pertemuan ketiga diawali tetap dengan pemberian motivasi dan penyajian fenomena-fenomena yang relevan dengan materi pembelajaran. Di mana materi pada pertemuan tiga adalah aturan perkalian peluang.Ada kelompok yang bertanya1) apa yang dimaksud dengan kejadian bersyarat? (2) Apakah istilah dua kejadian saling lepas dengan kejadian saling bebas adalah sama? Jika berbeda di mana letak perbedaannya. (3) Mengapa dinamakan aturan perkalian? Apakah tidak rancu nantinya dengan istilah aturan perkalian pada awal bab dulu? Munculnya banyak pertanyaan disebabkan karena tingkat kompleksitas pada materi cukup tinggi, oleh karena itu siswa merasa sulit untuk memahaminya. Kesemua permasalahan yang muncul tersebut dapat dijawab oleh siswa dari berbagai kelompok. Jawaban pertanyaan (1) datang dari kelompok 8 yang dimaksud kejadian bersyarat adalah kejadian yang mempunyai syarat, syaratnya yaitu kejadian sebelumnya. Karena pengambilan yang pertama tidak dikembalikan maka akan mengakibatkan perbedaan jumlah ruang sampel untuk kejadian berikutnya, inilah yang dimaksud dengan syarat tersebut. Adanya kejadian ke-2 bersyarat pada kejadian pertama.
Untuk pertanyaan ke-2 dan ke-3 siswa sudah bisa menjawab dengan memuaskan sehingga guru merasa tidak perlu lagi menambahkan jawaban kepada siswa.
Tingkat ketuntasan belajar secara klasikal pada siklus III mencapai 85% atau sebanyak 34 orang siswa dari 43 siswa memperoleh nilai di atas 65. Hasil ini berarti lebih besar dari syarat yang ditentukan yaitu 75% dari jumlah total kelas. Hanya 15% siswa yang belum tuntas, dan itupun nilai yang dicapai oleh mereka di atas 50. Karena ketuntasannya sudah mencapai lebih dari 75% maka proses pembelajaran ini sudah dianggap berhasil.

Pembahasan
Hasil analisis pada setiap siklus menunjukkan ada kemajuan tentang hasil belajar konsep peluang oleh siswa kelas XI Bahasa MA NW Pancor Kabupaten Lombok Timur NTB. Hal ini terlihat pada perolehan hasil pos tes siswa dari siklus I, siklus II, dan siklus III yang telah diuraikan pada sub bab paparan data hasil penelitian sebelumnya. Bila dilihat dari ketuntasan belajar siswa secara klasikal berarti bila telah terdapat 85% (penentuan ini berdasarkan SKBM dimusawarahkan dengan siswa dengan mempertimbangkan faktor esensial, kompleksitas, sarana dan prasarana, dan intake siswa). Merujuk pada ketentuan tersebut pada setiap siklus, ketuntasan belajar klasikal sebesar 42.5% pada siklus I, 70% pada siklus II, dan 85% pada siklus III.
Dari data tersebut di atas terdapat peningkatan hasil belajar konsep peluang yang cukup baik. Peningkatan ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Mathematic in Contex (MiC) pada mata pelajaran matematika dapat meningkatkan pemahaman dan aplikasi matematika konsep peluang siswa kelas XI Bahasa MA NW Pancor Lombok Timur NTB.
Hasil temuan ini dapat dijelaskan sebagai berikut; pembelajaran Mathematic in Contex (MiC) memungkinkan siswa memperoleh dan mengkonstruksi sendiri konsep dengan diajak melakukan dan menemuka sendiri konsep (menemukan matematika dengan berbuat matematika) selain itu pengaitan konsep baru dengan konsep lama yang dimilki oleh siswa ditengarai membantu siswa mengendapkan konsep lebih lama dalam memori jangka panjang mereka. Seperti dijelaskan oleh (Dahar, 1988) bahwa beberapa cara yang dapat dilakukan oleh guru (baca dosen) untuk membantu mahasiswanya menyimpan konsep dalam memori jangka panjang dengan cara (1) pengulangan, (2) preposisi, yaitu mata pelajaran dipahami sebagi gagasan penting, (3) bayangan imagery, mata pelajaran akan disimpan dalam memori jangka panjang jika mata pelajaran tersebut dicari dan dilakukan sendiri oleh siswa untuk mencari bayangan mental secara konkret, (4) produksi, (5) mengaitkan informasi baru dengan informasi lama. Temuan ini sejalan dengan pendapat Corebima (2002) yang mengemukakan bahwa dengan pendekatan Mathematic in Contex (MiC) memungkinkan peserta didik memperkuat, mengembangkan dan meningkatkan kemampuan akademik.
Menurut De Lange dalam (Nur 2001) ada dua aspek penting dari pembelajaran matematika yaitu; pertama menekankan pada pengalaman konkret untuk memvalidasi dan menguji konsep matematika abstrak, aspek kedua menekankan pada aspek umpan balik selama pembentukan gagasan matematika (lihat Gambar 2 pada Bab 2 sebelumnya). Pendapat serupa juga dinyatakan oleh Kolb (1984) yang menyatakan bahwa belajar matematika merupakan proses dimana pengetahuan berupa hasil belajar yang diciptakan sendiri oleh siswa, sehingga siswa harus aktif berinteraksi dengan lingkungan belajarnya.
Menurut Goldin dalam Nur (2001) matematika ditemukan dan dibangun oleh manusia, sehingga di dalam pembelajaran matematika harus terlebih dahulu dibangun sendiri oleh siswa dan bukan ditanamkan oleh guru. Pembelajaran matematika seharusnya menurut Goldin adalah membantu siswa untuk ‘menemukan’ kembali matematika dengan ‘berbuat’ matematika. Oleh karena itu pembelajaran matematika seharusnya berangkat dari ‘karakteristik asli’ matematika itu sendiri, yaitu merupakan seperangkat alat untuk pemeriksaan, penganalisisan, dan peramalan perilaku sistem dunia nyata. Maka seharusnya pembelajaran matematika haruslah dimulai dari situasi masalah nyata yang dapat mereka bayangkan atau paling sedikit memiliki hubungan dengan dunia nyata. Dunia nyata yang dimaksud dalam hal ini, dapat berupa media pembelajaran, model, atau benda nyata yang dapat dimanipulasi. Konsekuensi logis dari penerapan pendekatan Mathematic in Contex (MiC) dalam pembelajaran matematika adalah meningkatnya pemahaman dan aplikasi.

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil temuan penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut; penggunaan pendekatan Mathematic in Contex (MiC) dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan pemahaman dan aplikasi konsep peluang pada siswa kelas XI Bahasa MA NW Pancor Kabupaten Lombok Timur NTB.

Saran
Dari hasil temuan penelitian dapat disarankan hal-hal sebagai berikut; (1) dalam rangka memberdayakan kemampuan bernalar mahasiswa khususnya pada mahasiswa semester awal, para dosen dapat mempertimbangkan untuk menerapkan pendekatan Mathematic in Contex (MiC) dengan kombinasi kooperatif learning, (2) bagi penelitian lebih lanjut agar dapat dilakukan penelitian lanjutan mengenai keefektifan pendekatan Mathematic in Contex (MiC) melalui kooperatif terhadap kemampuan berpikir lainnya seperti kemampuan evaluasi yang nota bene adalah ketrampilan berpikir yang tertinggi menurut taksonomi Bloom. Sehingga dapat memberikan sumbangan yang berharga bagi pengembangan pendidikan.


09 Juli 2008

mastery learning

BAB II
MASTERY LEARNING (BELAJAR TUNTAS)


OLEH:
Eni Titikusumawati



Latar Belakang
Ide dari belajar tuntas (mastery learning) adalah relatif tua. Awal tahun 1920-an talah ada paling tidak dua usaha besar untuk memperoleh ketuntasan dalam belajar siswa. Salah satunya adalah Winnetka Plan dari Carleton Washburne dan kelompoknya (1922); sedangkan yang lain dibangun suatu pendekatan oleh Prof. Henry C. Morrison (1926) pada Universitas Chicago Laboratory School (Block, 1975: 4).

Pendekatan ini diberikan dengan banyak keistimewaan. Pertama, ketuntasan didefinisikan dalam bantuk pendidikan khusus yang obyektif, masing-masing siswa diharapkan untuk mencapainya. Pengertian obyektif untuk Washburne, sedang kognitif dan afektif dan bahkan psikomotor untuk Morrisen. Kedua, pembelajaran telah diatur ke dalam satuan belajar yang baik. Masing-masing satuan memuat kumpulan dari bahan ajar yang secara sistematis disusun untuk mengajar yang diinginkan tujuan masing-masing satuan (Washburne) atau tujuan (Morrison). Ketiga, ketuntasan lengkap dari masing-masing satuan diperlukan siswa sebelum mengerjakan satuan selanjutnya. Keistimewaan ini secara khusus penting dalam Winnetka Plan karena satuan-satuan tersebut dijaga untuk disusun sehingga pembelajaran dari masing-masing satuan dibangun pada belajar sebelumnya.

Keempat, ungraded, tes diagnosa perkembangan diadministrasi pada perlengkapan dari masing-masing satuan untuk memberikan umpan balik pada kemampuan belajar siswa. Tes ini diindikasikan satuan ketuntasan, dan kemudian dikuatkan belajarnya atau hal ini mengutamakan alat-alat yang masih dia perlukan untuk ketuntasan. Kelima, pada dasarnya informasi diagnosa ini, masing-masing pembelajaran siswa semula ditambah dengan perbaikan pembelajaran khusus sehingga dapat melengkapi satuan belajarnya.

Dalam Winnetka Plan, terutama bahan-bahan praktek pembalajaran sendiri telah digunakan, meskipun guru kadang-kadang memberi pelajaran secara individu atau kelompok kecil. Dalam pendekatan Morrison bermacam-macam perbaikan digunakan –contohnya, pembelajaran kembali, memberi pelajaran tambahan, menyusun kembali aktivitas belajar, dan melangsungkan kembali kebiasaan belajar siswa. Akhirnya, waktu telah digunakan sebagai variabel dalam pembelajaran individual dan dengan demikian dalam membantu perkembangan siswa belajar tuntas terhadap Winnetka Plan siswa belajar melangkah sendiri –masing-masing siswa memberikan semua waktu yang mereka perlukan untuk menuntaskan satu satuan. Sedang metode Morrison masing-masing siswa diberikan waktu belajar yang diperlukan gurunya untuk membawa siswa atau hampir semua siswa pada ketuntasan satuan.

Mastery Learning dari berbagai Pemikiran
Landasan konsep dan teori tentang Mastery Learning adalah pandangan tentang kemampuan siswa yang dikemukakan oleh John B. Carroll pada tahun 1963 berdasarkan penemuannya yaitu “Models of School Learning”. Manfaat model yang telah ditemukan Carroll ini secara essensial merupakan suatu paradigma konseptual yang mana garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan siswa belajar di sekolah ditunjukkan dengan bagaimana faktor-faktor tersebut diinteraksikan. Di sini Carroll menemukan bahwa bakat siswa tidak diramal hanya pada tingkat dimana dia belajar dalam suatu waktu yang diberikan, tetapi juga menyangkut banyaknya waktu yang dia perlukan untuk belajar pada tingkat tersebut. Dalam hal ini Carroll mendefinisikan bahwa bakat sebagai tolok ukur untuk mengetahui banyaknya waktu yang diperlukan siswa untuk belajar dari satuan pelajaran untuk memberikan criteria terhadap kondisi pembelajaran yang ideal.

Menurut Carroll bakat atau pembawaan bukanlah kecerdasan alamiah, melainkan jumlah waktu yang diperlukan oleh siswa untuk menguasai suatu materi pelajaran tertentu. Waktu yang diperlukan telah ditunjukkan dengan banyaknya waktu dari siswa yang akan diperlukan secara aktif akan dipengaruhi dalam belajar (yaitu: ketekunan) dan total waktu belajar yang dia perlukan. Waktu belajar masing-masing siswa yang diberikan ditentukan oleh kecerdasannya, kualitas pembelajarannya, dan kemampuannya untuk memahami pembelajaran.

Benyamin S. Bloom (1968) dalam hasil kerjanya “learning for mastery theory and practice” mengembangkan atau mengoperasionalkan “Models of School Learning” nya John B. Carroll (1963). Pengembangan itu berupa penyusunan suatu strategi Mastery Learning dalam pelaksanaan proses belajar mengajar. Inti dari strategi tersebut adalah “jika kepada siswa diberikan waktu yang cukup (sufficient) dan mereka diperlakukan secara tepat (appropriate threatment), maka mereka akan mampu dan dapat belajar sesuai dengan tuntutan dan sasaran yang diharapkan.Bloom (1968) telah mentransformasikan model konsep Mastery Learning ini ke dalam model kerja yang efektif. Jika kecerdasan diprediksi dari dasar, dengan tidak memperhitungkan tingkatan, seorang siswa dapat diberikan tugas yang dapat digunakan untuk menetapkan tingkat keberhasilan belajar. Diharapkan siswa di beberapa level ketuntasan dan secara sistematis memanipulasi variable pembelajaran di model Carroll sehingga semua atau bahkan hampir semua siswa akan mencapai ketuntasan ini. Menurut Bloom, jika siswa didistribusikan secara normal dengan respek pada kemampuan untuk suatu subyek dan jika mereka telah diberikan pembelajaran dengan kualitas dan waktu belajar yang sama, maka pencapaian pada ketuntasan masing-masing subyek akan didistribusikan secara normal. Selanjutnya hubungan antara kecerdasan dan kemampuan akan menjadi tinggi.
Tetapi, jika siswa didistribusikan secara normal pada kecerdasan masing-masing kualitas optimal yang diterima pada pembelajaran dan waktu belajar disesuaikan dengan level masing-masing siswa maka kebanyakan siswa diharapkan dapat mencapai ketuntasan.

Secara singkat dijelaskan di sini, Bloom malaksanakan konsep Mastery Learning ke dalam kelas melalui proses pembelajaran yang pelaksanaannya sebagai berikut: 1) Membagi satuan pelajaran yang disediakan waktu belajar yang tetap dan pasti, 2) Tingkat penguasaan materi dirumuskan sebagai tingkat penguasaan tujuan pendidikan yang essensial.

Dari model Carroll dan Bloom seperti yang telah dijelaskan di atas secara singkat, untuk lebih menggalakkan konsep Mastery Learning James H. Block mencoba memampatkan waktu yang diperlukan untuk mempelajari suatu materi pelajaran dalam waktu yang tersedia, yaitu dengan cara meningkatkan semaksimal mungkin kualitas pembelajaran. Jadi dalam pelaksanaannya mengandung arti bahwa: 1) Waktu yang sebenarnya digunakan diusahakan diperpanjang semaksimal mungkin, 2) Waktu yang tersedia diperpendek sampai semaksimal mungkin dengan cara memberikan pelayanan yang optimal dan tepat.

Cara Kerja Mastery Learning
Intinya, Mastery Learning menyempurnakan tujuan pembelajaran dengan mengerjakan tiga (3) hal: a) memberikan siswa perbedaan jumlah waktu untuk mencapai tujuan bahan ajar, b) memberikan penambahan waktu atau remedial untuk siswa yang belum menyelesaikan bahan ajar dengan cepat, c) mengatur satuan kurikulum yang berbeda, yang mana masing-masing siswa dapat diajar dan dievaluasi secara terpisah dari yang lain. Untuk lebih jelasnya akan kami coba untuk menguraikan masing-masing tahap cara kerja Mastery Learning.

Menyediakan waktu pencapaian tujuan
Mastery Learning biasanya mengambil hubungan antara waktu dan prestasi siswa di sekolah. Sebagai ganti alokasi banyaknya waktu belajar yang ditetapkan dan mengikuti tingkat kecerdasan siswa yang beragam, maka Mastery Learning mengharuskan semua siswa untuk mencapai suatu unit belajar tertentu dan memberikan waktu yang diperlukan untuk menguasai unit belajar tersebut secara berbeda-beda antar individu. Dengan kata lain secara sederhana seorang guru harus mencurahkan waktu ekstra untuk siswa yang perlu waktu yang relative lama untuk memahami suatu unit belajar.

Guru yang menggunakan pendekatan Mastery Learning berasumsi bahwa dengan memberikan cukup waktu dan pertolongan yang tepat, sebenarnya semua siswa cepat atau lambat akan sampai pada ketuntasan unit belajar tersebut. Contoh konkrit yang bisa diberikan di sini, misalkan jika satu unit belajar yang mengharuskan siswa untuk menuntaskan pelajaran matematika pada konsep mencari luas bidang datar, pada akhirnya semua siswa harus menguasai konsep ini, sekalipun antara siswa yang satu dengan yang lain berbeda jangka waktu pencapaiannya. Contoh, Suto kebetulan siswa terpandai di kelas dan dia hanya perlu waktu 2 X 45 menit untuk menguasai konsep ini. Tetapi hal ini tidak berlaku untuk Noyo, Kamto, dan siswa yang lain yang notabene ada di bawah Suto tingkat pencapaian ketuntasannya. Mungkin ada yang perlu waktu 2 minggu, 3 minggu atau bahkan lebih dari waktu-waktu tersebut. Bagaimana siswa dapat menuntaskan suatu konsep belajar sangat ditentukan pada bagaimana dengan cepat mereka dapat belajar.

Memberikan Perbaikan Pembelajaran
Dalam rangka mengambil keuntungan dari fleksibilitas waktu belajar, pendekatan mastery menawarkan pembelajaran ekstra, yang disebut dengan perbaikan pembelajaran (corrective instruction), untuk siswa yang terlalu lama memahami tujuan pembelajaran. Corrective instruction ini dapat dalam bentuk tutorial secara individu atau pembelajaran dalam bentuk kelompok kecil yang disesuaikan pada pengulangan ketidakfahaman atau kebingungan yang dihadapi siswa.

Perbaikan pembelajaran dapat terjadi selama jam pembelajaran berlangsung ataupun di luar jam pembelajaran. Misalnya pada jam istirahat, waktu makan siang, ataupun jam setelah sekolah selesai. Contoh kasus, misalnya dalam pelajaran matematika, siswa akan dikategorikan belum tuntas (dari tingkat ketuntasan yang ditargetkan 90% tes tiap unit belajar), maka siswa akan ada pada criteria perbaikan pembelajaran.

Pada perbaikan ini bisa saja digunakan metode dan media mengajar yang berbeda tetapi tetap pada konsep/unit yang sama dan bekerja ke arah yang sama pula secara obyektif sebagaimana sebelumnya. Akhirnya siswa akan dibawa pada tes lain pada unit tersebut, dan jika mereka masih belum beranjak dari daerah kriteria belum tuntas, mereka masih akan perlu perbaikan pembelajaran sampai akhirnya mereka berhasil. Setelah mereka mencapai ketuntasan akan diijinkan untuk melangkah pada unit selanjutnya.

Mangatur Satuan Kurikulum
Untuk membuat perbaikan pembelajaran yang efektif, dalam Mastery Learning guru-guru juga perlu mengatur kurikulum ke dalam satuan pelajaran yang berlainan, masing-masing difokuskan pada satuan khusus pembelajaran yang obyektif. Fokus pendekatan guru pada awal pembelajaran lebih jelas dan membantu memonitor perkembangan siswanya. Selanjutnya mendesain tes dasar pada tiap unit secara tepat. Keuntungannya adalah membantu para guru merencanakan perbaikan pembelajaran yang tepat dan benar-benar membantu.

Pada sekolah umum, Mastery Learning hampir pasti dikatakan cocok pada periode dan waktu pembelajaran, walaupun masih diperlukan schedule yang fleksibel. Oleh karena itu, solusi terbanyak yang direkomendasikan pada Mastery Learning adalah dengan menggunakan group-based mastery learning, yaitu Mastery Learning yang didasarkan pada penggunaan pendekatan secara kelompok (Block & Anderson, 1975; Slavin, 1987b).

Dalam group-based Mastery Learning, meskipun siswa bekerja secara kelompok secara perorangan siswa bertanggung jawab terhadap belajarnya sendiri dan akan lebih memotivasi siswa jika dalam belajar kelompok tersebut ada pemberian reward dengan mempertimbangkan kerjasama antar anggota kelompok, misalnya dengan memberikan bonus nilai pada setiap anggota kelompok, apabila seluruh anggota kelompok mencapai skor tertentu dalam suatu tes. Dengan demikian diharapkan rasa kerjasama, saling membantu dan tanggung jawab diharapkan akan ada dan memotivasi belajar siswa itu sendiri. Karena keberhasilan kelompok berarti keberhasilan seluruh anggota kelompok.

Kelebihan dan Kekurangan Mastery Learning
Mastery Learning menawarkan kemungkinan yang mengasyikan bagi yang akan menggunakan dan/atau mempelajarinya. Para guru akan mencari sebagaimana yang mereka pahami dan mencari penjelasan di sini bahwa: pertama, Mastery Learning memberi suatu pikiran yang efisien dan efektif untuk mentransformasikan pendekatan yang didasarkan pada group-based mastery learning ke dalam kualitas pembelajaran secara optimal masing-masing siswa. Oleh karena itu, prosedur ketuntasan akan bermanfaat pada masing-masing guru untuk membuat investasi dan usaha dalam group-based mastery learning yang memberi hasil dalam bentuk ketuntasan belajar hampir pada semua siswa, tidak hanya pada beberapa siswa.

Kedua, strategi Mastery Learning relatif mudah dan murah. Artinya menyesuaikan metode pembelajaran yang ada, bahan yang diperlukan, dan karakteristik dari semua siswa sehingga dapat menjadi tawaran bagi siswa-siswa untuk memenuhi pengembangan siswa. Ketiga, dengan menggunakan pendekatan mastery pengatur kurikulum (administrator) dapat melakukan perubahan besar di sekolah-sekolah sehingga diharapkan segala distribusi pencapaian cenderung naik. Mereka dapat memastikan bahwa masing-masing siswa diberi kemampuan, perhatian/minat, dan sikap yang mana akan mendorongnya untuk menyelesaikan suatu level tertentu dan untuk melihat keuntungan dari suatu belajar. Mereka juga dapat memastikan bahwa masing-masing siswa akan memperoleh pengalaman kesuksesan belajar yang akan membantu memperkuat kepercayaan dirinya dan membentenginya melawan rasa minder.

Manfaat pendekatan Mastery Learning yang lain dikemukakan oleh Guskey & Gates, 1986, pertama, Mastery Learning memotivasi siswa karena akan membangun rasa percaya diri mereka bahwa semua dari mereka dapat menguasai tujuan pendidikan secara pasti. Lebih lanjut, Mastery Learning menuntut bahwa komunikasi adalah faktor esensi dari tujuan tersebut. Mastery menjadi lebih dari hanya sekedar sesuatu yang biasanya hanya dapat dicapai oleh sedikit siswa.

Kedua, ketika direncanakan dengan baik, mastery membuat belajar dan pembelajaran menjadi lebih efisien. Siswa menjadi tahu bahwa mereka perlu belajar, dan guru tahu bahwa mereka perlu untuk memberi bantuan macam apa yang secara individu diperlukan siswa. Dengan demikian siswa yang paling lambanpun bisa tetap terangkum dalam bimbingan untuk mengejar yang lain sampai mencapai ketuntasan.

Tetapi walaupun manfaat mastery learning, seperti yang telah diuraikan di atas, tetap saja sistem tersebut tidaklah sempurna. Masalah utama yang paling dirasakan terletak pada inti dari pendekatan Mastery Learning: dalam setting sekolah umum, waktu pembelajaran terlalu beragam (Slavin, 1987b). Jika guru memberikan perbaikan dalam jam kelas, maka perhatian guru secara kontinyu terpecah antara siswa pandai dan siswa kurang pandai. Dan hal ini kadang-kadang secara tidak disadari oleh guru telah menghabiskan waktu lebih lama sengan siswa yang lamban, Sehingga bagi siswa yang cepat mengerti akan merasa banyak waktu terbuang hanya untuk menunggu siswa lain yang belum memahami pelajaran.

Memberikan perbaikan pembelajaran di luar jam kelas juga mempunyai kendala. Salah satunya, hal ini akan menambah jam kerja guru secara substansi, tidak realistik pada peluang guru untuk menambah jam lembur mereka pada substansi dasar. Akibatnya, yang paling banyak dipersembahkan guru mungkin tidak dapat memberikan siswa yang paling lamban cukup waktu ekstra untuk mencapai ketuntasan. Dengan demikian, guru-guru sepertinya tidak membuang waktu mengajar terlalu banyak atau sedikit untuk kelas tersebut, dan siswa-siswa yang “lamban”pun tetap terangkum dalam bimbingan.

TEORI DALAM PRAKTEK

Suatu Studi Kasus: Olivia Menggunakan Mastery Learning
Olivia Palaez telah menggunakan Mastery Learning dalam kelas 10 pada kelas pengetahuan umum. Dia menggunakan suatu kurikulum untuk membantunya. Salah satunya dia atur dalam satuan-satuan kecil mandiri dan disesuaikan dengan apa yang dirasa sebagai urutan logis. Dia membaca tentang Mastery Learning dan berkata pada rekan sejawatnya bahwa dia merasa siap untuk memulai.

Semuanya ingin sukses pada hari pertamanya. Secara sederhana Olivia berceramah pada seluruh kelas tentang topik Bab I, topiknya adalah ‘Perbedaan Antara Padat, Cair, dan Gas’. Dia juga menyelingi ceramahnya dengan demonstrasi dari perubahan zat-zat tersebut –seperti pembekuan, penguapan, dll- pada akhir pelajaran dia memberikan quiz singkat dengan maksud untuk mendiagnosa seberapa baik siswa-siswanya telah belajar.

“Real Work” dimulai, sungguhpun Olivia berpikir bahwa ceramah dan demonstrasinya telah dia peragakan dengan demikian cantik dan sempurnanya, dia menemukan bahwa ternyata dia tidak menanamkan materinya dengan sangat bagus terhadap sebagian siswa. Separo dari kelas masih terabaikan dari jangkauan criteria ketuntasan, yaitu 90% benar dari item quiz. Olivia memberanikan untuk menganalisis mengapa 15 siswa belum faham pada topic tersebut, dan memberikan waktu tutorial pada mereka sampai dapat mencapai ketuntasan. Dan jika dia melakukan banyak perbaikan pembelajaran, tentu saja siswa-siswa yang lain –yang telah tuntas- akan perlu memanfaatkan waktu mereka untuk sesuatu aktivitas.

Untungnya kurikulum yang telah Olivia gunakan pada penyelesaian masalah terakhir ini dengan mudah menyediakan banyak penuntun aktivitas pengayaan yang berhubungan masing-masing satuan. Olivia menyeleksi beberapa satuan ini bagi siswa yang telah mencapai ketuntasan. Contohnya, pada salah satu aktivitas pengayaan, mananyai siswa untuk mengamati efek garam pada titik beku dan titik didih air.

Pada aktivitas pengayaan sudah direncanakan pula olehnya hingga Olivia menemukan kamantapan untuk mengoptimalkan waktu dengan siswa-siswa yang perlu perbaikan pembelajaran. Dia gunakan waktu kelas seoptimal mungkin, tapi untuk beberapa siswa dia juga menggunakan jam makan siang dan waktu-waktu ‘luang’ . Pada sesi ini, siswa-siswa terlihat senang, dan Olivia merasa bahwa setiap siswa telah dilayani pendidikannya.

Tapi Olivia mendapati dirinya sangat letih. Dia tahu bahwa memunculkan aktivitas pengayaan tidak selalu dapat digunakan seperti yang dimunculkan; dia telah menghabiskan waktu mencari bahan ataupun merubah pembelajaran untuk membuat lebih jelas aktivitas praktek atau lebih mudah dipahami. Karena penekanan waktu, dia memastikan beberapa sesi perbaikan pembelajaran salah satunya, khususnya pada jam makan siang –hanya untuk menjaga ketidakmerataannya berlangsung terus. Bentuk seperti di atas telah dapat diterima, tetapi suatu hari satu dari siswa yang tuntas datang pada Olivia dengan suatu keluhan. Siswanya berkata, “Anda mengajar kelas ini seperti remedial science,” kata siswanya. “Semua pernah Anda katakan pada orang-orang yang belum belajar.”

Olivia telah siap untuk komentar seperti ini, tapi dia tidak siap untuk menghentikan Mastery Learningnya. Kenyataannya, dia terkejut dengan masalah Mastery Learning yang tidak terlalu banyak, tapi tidak cukup dengan individu. Mungkin secara sederhananya beberapa siswa pandai perlu sesuatu yang lebih rumit dari sekedar aktivitas pengayaan, mungkin mereka perlu untuk bekerja dalam tim kooperatif, untuk mengejar kegiatan-kegiatan yang biasanya sangat lama. Dapatkah Olivia menghubungkan Mastery Learning dengan Cooperative Learning? Olivia mempertimbangkan hal ini sebagaimana dia telah siap untuk mengajar Bab 2 dengan Mastery Learning-nya tentu saja.