05 Desember 2008

MENGAPA MENGGUNAKAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING???....

Mengapa Menggunakan
Contextual Teaching and Learning (CTL)?



Sebuah delman tidaklah terlihat sebagai delman sebelum semua bagiannya terpasang; hubungan khas antara bagian-bagiannya itulah yang menjadikannya sebuah delman. Dan hubungan-hubungan tersebut bukjan hanya keterkaitan secara fisik belaka; hubungan-hubungan itu melibatkan hubungan dengan hewan-hewan yang menariknya, benda-benda yang diangkutnya, dst.
(Dewey, 1966:143)


CTL: Berakar pada Sebuah Pandangan Baru
Mendefinisikan Contextual Teaching and Learning (CTL), apakah perlu? Harus. Mengapa? Karena penting sekali bagi para pendukung dan praktisi CTL untuk menetapkan definisi CTL yang dapat diterima secara universal, menyetujui ciri khasnya, asalnya, dan alasan keberhasilannya. Jika dipahami dan dilaksanakan secara tepat, CTL memiliki potensi untuk menjadi lebih dari sekedar tanda pada proses pembelajaran di ruang kelas. CTL menawarkan cara menuju keunggulan akademis yang dapat diikuti oleh semua siswa. Hal itu dapat terjadi karena sistem kerja CTL sesuai dengan cara kerja otak dan prinsip-prinsip yang mendukung sistem kehidupan. CTL adalah sebuah sistem yang bersifat menyeluruh yang menyerupai cara alam bekerja.
CTL melibatkan para siswa dalam aktivitas penting yang membantu mereka mengaitkan pelajaran akademis dengan konteks kehidupan nyata yang mereka hadapi. Dengan mengaitkan keduanya, para siswa melihat makna di dalam tugas sekolahnya. Ketika mereka menemukan suatu permasalahan yang menarik, mereka akan membuat pilihan dan menerima suatu tanggung jawab, mencari informasi dan menarik kesimpulan, ketika mereka aktif memilih, menyusun, mengatur, menyentuh, merencanakan, menyelidiki, mempertanyakan, dan membuat keputusan, mereka akan mengaitkan isi akademiknya dengan konteks dalam dunia nyata (dunia sehari-hari), dan dengan cara ini mereka menemukan makna.
Penemuan makna adalah ciri utama dari CTL. Arti makna secara harfiah adalah ‘arti penting dari sesuatu atau maksud’ (diadopsi dari Webster’s New World Dictionary, 1968). Pencarian makna merupakan hal yang alamiah, seperti pernyataan psikolog, Viktor E. Frankl, bahwa tujuan utama seseorang bukanlah mencari kesenangan maupun menghindari rasa sakit, melainkan melihat sebuah makna di dalam hidupnya.
Sebelum para guru setuju akan nilai penting utama yang diberikan oleh CTL terhadap makna, mereka berada dalam bahaya salah pengertian tentang mengapa CTL menguntungkan semua siswa. Mereka berada dalam bahaya mendefinisikan CTL secara sendiri-sendiri dan tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti : mengapa belajar dalam konteks dapat membantu semua siswa menguasai materi akademis? Apakah asal usul CTL? Apakah tanggung jawab guru terhadap setiap siswa? Bagaimanakah pemikiran-pemikiran kritis dan kreatif muncul dalam CTL? Dan pertanyaan utamanya adalah apakah CTL?

KETERBATASAN PENDIDIKAN TRADISIONAL
Pendidikan tradisional tidak berhasil untuk para siswa karena berbagai alasan. Alasan-alasan ini bermula dari pandangan yang populer di abad ke-18 dan bahkan sampai sekarang masih mempengaruhi pemikiran umum. Pandangan itu melihat bahwa kenyataan terdiri dari objek-objek yang bebas. Pandangan baru yang dikembangkan oleh ilmu pengetahuan modern melihat kenyataan sebaliknya, yaitu kenyataan timbul dari saling ketergantungan antar objek. Dari hubungan-hubungan tersebut terciptalah kenyataan. Pandangan modern terhadap kenyataan ini menggarisbawahi pentingnya hubungan-hubungan dalam pengalaman manusia.
Tanpa menyadari pandangan modern ini, yang berpendapat bahwa sekolah-sekolah besar yang impersonal akan menggantikan sekolah-sekolah kecil karena menjalankan sekolah yang besar akan ‘lebih hemat’. Sekolah-sekolah menengah dan tingkat atas saat ini lebih mirip pabrik dan telah membuktikan dampat merusak dari oraganisasi-organisasi besar impersonal terhadap jiwa manusia, yaitu justru mengisolasi orang, dan bukan menghubungkan mereka. Sekolah-sekolah impersonal membuat mereka gamang, diabaikan, diasingkan, dan bingung. Hanya anak-anak yang memiliki kemampuan sosial tinggi yang mampu bertahan dalam suasana dingin sekolah-sekolah besar di mana dibutuhkan usaha keras untuk membangun hubungan yang berarti dengan guru dan teman. Bagi kebanyakan siswa, sekolah menengah adalah tempat yang mematikan semangat dan ingin sekali mereka tinggalkan.
Guru hanya menganggap bahwa siswanya ada di kelas supaya lulus, bukan untuk belajar sesuatu, bahkan pengajar terlalu sibuk mengajar kelas-kelas sepanjang hari hingga mereka tidak memiliki waktu untuk mengenal, atau bahkan berbicara pada siswanya. Ditambah lagi, karena dalam sistem tradisional alokasi waktu hanya berlangsung selama 45 sampai dengan 50 menit, mereka tidak diberi waktu untuk bertanya, berdiskusi, mencari tahu, berpikir kritis, atau terlibat dalam kerja nyata dalam pemecahan masalah. Waktu siswa hanya dihabiskan untuk mengisi buku tugas, mendengarkan gurum dan menyelesaikan latihan-latihan yang membosankan. Yang terakhir mereka hanya mengikuti ujian untuk mengukur kemampuan siswa dalam menghafalkan fakta-fakta atau rumus-rumus.



ASAL MULA CTL: Sebuah Gerakan ‘Akar Rumput’
Jika dipahami dan dilaksanakan dengan benar, CTL akan memiliki kemampuan untuk memperbaiki beberapa kekurangan yang paling serius dalam pendidikan tradisional. Kekurangan-kekurangan ini digambarkan dalam berbagai laporan penelitian yang dilakukan selama kurang lebih 15 tahun. Garis besar yang dapat ditarik dalam masing-masing laporan penelitian itu, bahwa semua siswa layak mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Semua siswa tidak hanya mempelajari materi-materi akademis yang maju, tetapi juga harus mencapai stándar akademis yang tinggi. Artinya setiap siswa berhak untuk mempelajari tidak hanya ketrampilan, tetapi juga materi akademis.
Hal tersebut di atas dilaksanakan dengan cara menggabungkan pengetahuan dan ketrampilan; mempelajari konsep-konsep abstrak dengan melakukan kegiatan praktis, menghubungkan tugas sekolah dengan dunia nyata (Hull, 1993) yang akhirnya terkenal dengan istilah ‘belajar dengan melakukan (learning by doing)’. Dihimbau untuk mengaitkan mata pelajaran akademik dengan dunia nyata, sehingga pengajaran seharusnya diberikan dalam konteks. ‘Belajar agar tahu’ tidak boleh dilepaskan dari ‘belajar agar bisa melakukan’.
Akhirnya kata “konteks” di atas menghasilkan terminologi pembelajaran kontekstual. Kata kontekstual kemudian secara alami menggantikan kata ’terapan’ karena ’terapan’ terlalu sempit untuk dapat mencakup inovasi mengejutkan yang dicapai oleh gerakan akar rumput reformis ini. Kontekstual yang lebih menyeluruh menyatakan saling keterhubungan. Yaitu segala sesuatu yang terhubung, termasuk gagasan-gagasan dan tindakan. Kontekstual juga mengarahkan pemikiran kita pada pengalaman. Ketika gagasan-gagasan dialami, digunakan di dalam konteks, mereka menjadi memiliki makna.
Kemitraan yang memungkinkan para siswa menerapkan pelajaran akademis ke dalam kelas; pelajaran-pelajaran uang mengaitkan tugas sekolah dengan pengalaman sehari-hari; restrukturisasi sekolah yang memungkinkan ”learning by doing” dimana semua kegiatan ini menunjukkan kekuatan dari pesan pokok CTL, yaitu: ”learning by doing” menyebabkan kita membuat keterkaitan-keterkaitan yang menghasilkan makna, dan ketika kita melihat makna, kita menyerap dan menguasai pengetahuan dan ketrampilan.

MENOLAK DUALISME: Menyatukan Pemikiran dan Tindakan
Para guru awalnya mencoba menjalankan CTL karena akal sehat dan pengalaman memberi tahu mereka bahwa menggabungkan antara abstrak dan nyata, pikiran dan tindakan, konsep dan praktik akan membantu para siswa mempelajari materi akademik. Tanpa menyadari hal itu, mungkin para guru ini akan terlibat dalam dualisme yang melumpuhkan yang telah menimpa sistem pendidikan (utamanya di Amerika) sejak awal. Dualisme ini memisahkan sisi abstrak dan sisi nyata. Sisi abstrak yaitu gagasan-gagasan, konsep, pengetahuan itu sendiri, dan kumpulan informasi telah lama terpisah dari sisi nyata pendidikan.
Sedangkan masih banyak penganut metode mengajar tradisional yang masih mempertahankan pemisahan ini. Sisi nyata (yaitu tindakan praktis dalam dunia sehari-hari, situasi aktual, masalah-masalah nyata) diminimalkan oleh para pendukung pendidikan tradisional, seakan sisi tersebut tidak terlalu berguna. Para pendukung pendidikan tradisional seakan-akan mengajak para siswa menyerap tetapi tidak menggunakan; mendengar tetapi tidak bertindakl berteori tetapi tidak mempraktikkan. Tugas para siswa hanyalah mengingat fakta dan gagasan, bukan mengalami gagasan itu di dalam tindakan. John Dewey menekankan keterkaitan ini dalam Democracy and Education:
Sebuah delman tidaklah terlihat sebagai delman sebelum semua bagiannya terpasang; hubungan khas antara bagian-bagiannya itulah yang menjadikannya sebuah delman. Dan hubungan-hubungan tersebut bukjan hanya keterkaitan secara fisik belaka; hubungan-hubungan itu melibatkan hubungan dengan hewan-hewan yang menariknya, benda-benda yang diangkutnya, dst. (Dewey, 1966:143)
Gerakan akar rumput CTL menunjukkan bahwa CTL layak berada di jantung sistem pendidikan setiap masyarakat. CTL menghilangkan pemisahan antara pembelajaran teoritis dan praktis. CTL memadukan gagasan dan tindakan, mengetahui dan melakukan, berpikir dan bertindak. Sebagai suatu pendekatan menyeluruh terhadap pendidikan, CTL cocok dengan cara otak berfungsi, yang merupakan sistem dari berbagai sistem.

02 Desember 2008

BENANG KUSUT YANG SULIT TERURAI???...

BENANG KUSUT YANG SULIT TERURAI???...


Berburu ke padang datar,
Mendapat rusa belang kaki,
Berburu kepalang ajar,
Bagai bunga kembang tak jadi.
Berburu ke padang datar,
Mendapat rusa belang kaki,
Bermurid kepalang dasar,
Mengundang bala di kemudian hari.

Pantun di atas penulis temukan dalam kumpulan artikelnya Pak Andi Hakim Nasoetion (Alm) yang diterbitkan tahun 80-an. Lho…kok??? Sudah pantunnya kuno, ditulispun sudah hampir 30 tahun yang lalu, tidakkah sudah basi?? ..:) mungkin bukan basi lagi bahkan sudah jadi fosil. Tetapi toh kenyataannya sampai sekarang kondisinya masih tetap tidak banyak berubah. Malahan dari bunyi pantun di atas kita baru kita tahu maksud Pak Andi (Alm), bahkan bisa dibilang Pak Andi ‘ngerti sakdurunge winarah’ kata orang jawa.
Ngomong-ngomong tentang problematika pendidikan di Indonesia (boleh ya saya ikutan menyemarakkan tulisan tentang hal ini…he…he… daripada blog saya kosong ) seperti tidak ada habis-habisnya. Masih lekat dalam ingatan saya ketika itu saya menjadi salah satu staf pengajar bidang studi matematika di Madrasah Aliyah di lombok Timur NTB. Kebetulan saya suka dengan kepemimpinan kepala Madrasahnya (jika dilihat dari kedisiplinan dan kegigihannya untuk menginginkan madrasah, siswa dan guru-gurunya maju…bravo ustadz). Setiap kali selesai dilaksanakan Ujian akhir Semester (UAS) beliau mengadakan rapat dewan guru, dimana salah satunya dibahas tentang kendala-kendala yang dihadapi masing-masing guru bidang studi. Misalnya jika rata-rata siswanya dalam kelas masih kurang maka beliau akan bertanya kira-kira apa yang menyebabkan hal itu bisa terjadi.
Kebetulan mata pelajaran matematika termasuk pelajaran dengan nilai rata-rata yang stabil (jeleknya …), saya mendengar pembelaan dari salah satu guru matematika terhadap pertanggungjaweaban kelasnya. Beliau berkata ,”ustadz…nilai rata-rata siswa yang rendah disebabkan oleh pengetahuan dasar mereka yang tidak kuat. Jika fondasinya saja sudah tidak kuat bagaimana bisa mereka memahami materi berikutnya yang tentu saja lebih sulit daripada sebelumnya.” Ada lagi guru bidang studi lain yang saya dengar mengatakan bahwa input siswa memang sudah rendah karena tidak adanya seleksi pada saat mereka mendaftar pada tahun pertama mereka masuk Aliyah.
Saya berpikir, apa yang dikemukakan oleh teman-teman guru tersebut semuanya benar, dengan kata lain tidak ada yang salah alias mereka semua berhak mendapat nilai seratus…tus. Tetapi apakah adil jika kita selalu menyalahkan keadaan yang lampau, adilkah kita jika selalu menganggap bahwa ketidakpahaman siswa itu adalah warisan dari guru yang mengajar sebelumnya??? Jika keadaannya seperti ini, maka terjadi mata rantai yang tidak ada putusnya. Guru Aliyah (SMA) akan menyalahkan guru MTs-nya, guru MTs akan menyalahkan guru Minya. Berarti yang paling apes adalah guru TK, karena sudah tidak bisa menyalahkan siapa-siapa lagi, karena sudah tidak ada sasaran maka mereka kembalikan masalah tersebut ke orang tua masing-masing. Nah…lho…
Cara pandang oknum guru yang seperti itulah yang seharusnya kita kikis sedikit demi sedikit. Kita harus menanggalkan pepatah ‘jangan beri kami ikan, tetapi berilah kami kail yang ada ikannya’....(maaf, ini adalah plesetan pepatah yang biasanya saya buat lelucon di antara kawan-kawan saya). Berarti memang harus kembali ke jalan yang benar dengan menggunakan pepatah ‘jangan beri kami ikan, tetapi berilah kami kail’. Kapan???... tidak usah menunggu lama-lama, sekarang saja kita mulai. Kenapa harus menunggu orang lain yang memulai. Mungkin dengan cara seperti ini tidak ada lagi (ya…minimal berkurang sedikit…) saling menyalahkan di antara guru-guru kita. Pantang terus maju mundur…eh…salah ya, maju terus pantang mundur!!...majulah pendidikan Indonesia.
Menurut hemat saya, tidak ada salahnya (malah sangat baik) jika kita bisa memulai dari diri kita sendiri. Tanyakan kepada diri kita apa yang sudah kita berikan kepada orang lain, dan jangan tanyakan apa yang sudah orang lain berikan kepada kita. Mungkin pepatah (atau apalah…namanya) ini cocok untuk mengilustrasikan semua hal tersebut.
Jadi biarkan anjing menggonggong, kita jalan terus saja. Biarkan kondisi pendidikan kita jika boleh dikatakan sangat memprihatinkan, bukan berarti kita harus ikut terpuruk dalam keprihatinan. Tidak usah menunggu orang lain untuk memulai, tapi kita harus memulai dengan diri kita sendiri. Bayangkan jika semua guru mempunyai pikiran seperti ini, pasti sistem akan berjalan dengan sendirinya. Hidup pendidikan Indonesia!!!...Merdekka...sekali merdeka tetap merdeka...he..he...