09 Juli 2008

mastery learning

BAB II
MASTERY LEARNING (BELAJAR TUNTAS)


OLEH:
Eni Titikusumawati



Latar Belakang
Ide dari belajar tuntas (mastery learning) adalah relatif tua. Awal tahun 1920-an talah ada paling tidak dua usaha besar untuk memperoleh ketuntasan dalam belajar siswa. Salah satunya adalah Winnetka Plan dari Carleton Washburne dan kelompoknya (1922); sedangkan yang lain dibangun suatu pendekatan oleh Prof. Henry C. Morrison (1926) pada Universitas Chicago Laboratory School (Block, 1975: 4).

Pendekatan ini diberikan dengan banyak keistimewaan. Pertama, ketuntasan didefinisikan dalam bantuk pendidikan khusus yang obyektif, masing-masing siswa diharapkan untuk mencapainya. Pengertian obyektif untuk Washburne, sedang kognitif dan afektif dan bahkan psikomotor untuk Morrisen. Kedua, pembelajaran telah diatur ke dalam satuan belajar yang baik. Masing-masing satuan memuat kumpulan dari bahan ajar yang secara sistematis disusun untuk mengajar yang diinginkan tujuan masing-masing satuan (Washburne) atau tujuan (Morrison). Ketiga, ketuntasan lengkap dari masing-masing satuan diperlukan siswa sebelum mengerjakan satuan selanjutnya. Keistimewaan ini secara khusus penting dalam Winnetka Plan karena satuan-satuan tersebut dijaga untuk disusun sehingga pembelajaran dari masing-masing satuan dibangun pada belajar sebelumnya.

Keempat, ungraded, tes diagnosa perkembangan diadministrasi pada perlengkapan dari masing-masing satuan untuk memberikan umpan balik pada kemampuan belajar siswa. Tes ini diindikasikan satuan ketuntasan, dan kemudian dikuatkan belajarnya atau hal ini mengutamakan alat-alat yang masih dia perlukan untuk ketuntasan. Kelima, pada dasarnya informasi diagnosa ini, masing-masing pembelajaran siswa semula ditambah dengan perbaikan pembelajaran khusus sehingga dapat melengkapi satuan belajarnya.

Dalam Winnetka Plan, terutama bahan-bahan praktek pembalajaran sendiri telah digunakan, meskipun guru kadang-kadang memberi pelajaran secara individu atau kelompok kecil. Dalam pendekatan Morrison bermacam-macam perbaikan digunakan –contohnya, pembelajaran kembali, memberi pelajaran tambahan, menyusun kembali aktivitas belajar, dan melangsungkan kembali kebiasaan belajar siswa. Akhirnya, waktu telah digunakan sebagai variabel dalam pembelajaran individual dan dengan demikian dalam membantu perkembangan siswa belajar tuntas terhadap Winnetka Plan siswa belajar melangkah sendiri –masing-masing siswa memberikan semua waktu yang mereka perlukan untuk menuntaskan satu satuan. Sedang metode Morrison masing-masing siswa diberikan waktu belajar yang diperlukan gurunya untuk membawa siswa atau hampir semua siswa pada ketuntasan satuan.

Mastery Learning dari berbagai Pemikiran
Landasan konsep dan teori tentang Mastery Learning adalah pandangan tentang kemampuan siswa yang dikemukakan oleh John B. Carroll pada tahun 1963 berdasarkan penemuannya yaitu “Models of School Learning”. Manfaat model yang telah ditemukan Carroll ini secara essensial merupakan suatu paradigma konseptual yang mana garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan siswa belajar di sekolah ditunjukkan dengan bagaimana faktor-faktor tersebut diinteraksikan. Di sini Carroll menemukan bahwa bakat siswa tidak diramal hanya pada tingkat dimana dia belajar dalam suatu waktu yang diberikan, tetapi juga menyangkut banyaknya waktu yang dia perlukan untuk belajar pada tingkat tersebut. Dalam hal ini Carroll mendefinisikan bahwa bakat sebagai tolok ukur untuk mengetahui banyaknya waktu yang diperlukan siswa untuk belajar dari satuan pelajaran untuk memberikan criteria terhadap kondisi pembelajaran yang ideal.

Menurut Carroll bakat atau pembawaan bukanlah kecerdasan alamiah, melainkan jumlah waktu yang diperlukan oleh siswa untuk menguasai suatu materi pelajaran tertentu. Waktu yang diperlukan telah ditunjukkan dengan banyaknya waktu dari siswa yang akan diperlukan secara aktif akan dipengaruhi dalam belajar (yaitu: ketekunan) dan total waktu belajar yang dia perlukan. Waktu belajar masing-masing siswa yang diberikan ditentukan oleh kecerdasannya, kualitas pembelajarannya, dan kemampuannya untuk memahami pembelajaran.

Benyamin S. Bloom (1968) dalam hasil kerjanya “learning for mastery theory and practice” mengembangkan atau mengoperasionalkan “Models of School Learning” nya John B. Carroll (1963). Pengembangan itu berupa penyusunan suatu strategi Mastery Learning dalam pelaksanaan proses belajar mengajar. Inti dari strategi tersebut adalah “jika kepada siswa diberikan waktu yang cukup (sufficient) dan mereka diperlakukan secara tepat (appropriate threatment), maka mereka akan mampu dan dapat belajar sesuai dengan tuntutan dan sasaran yang diharapkan.Bloom (1968) telah mentransformasikan model konsep Mastery Learning ini ke dalam model kerja yang efektif. Jika kecerdasan diprediksi dari dasar, dengan tidak memperhitungkan tingkatan, seorang siswa dapat diberikan tugas yang dapat digunakan untuk menetapkan tingkat keberhasilan belajar. Diharapkan siswa di beberapa level ketuntasan dan secara sistematis memanipulasi variable pembelajaran di model Carroll sehingga semua atau bahkan hampir semua siswa akan mencapai ketuntasan ini. Menurut Bloom, jika siswa didistribusikan secara normal dengan respek pada kemampuan untuk suatu subyek dan jika mereka telah diberikan pembelajaran dengan kualitas dan waktu belajar yang sama, maka pencapaian pada ketuntasan masing-masing subyek akan didistribusikan secara normal. Selanjutnya hubungan antara kecerdasan dan kemampuan akan menjadi tinggi.
Tetapi, jika siswa didistribusikan secara normal pada kecerdasan masing-masing kualitas optimal yang diterima pada pembelajaran dan waktu belajar disesuaikan dengan level masing-masing siswa maka kebanyakan siswa diharapkan dapat mencapai ketuntasan.

Secara singkat dijelaskan di sini, Bloom malaksanakan konsep Mastery Learning ke dalam kelas melalui proses pembelajaran yang pelaksanaannya sebagai berikut: 1) Membagi satuan pelajaran yang disediakan waktu belajar yang tetap dan pasti, 2) Tingkat penguasaan materi dirumuskan sebagai tingkat penguasaan tujuan pendidikan yang essensial.

Dari model Carroll dan Bloom seperti yang telah dijelaskan di atas secara singkat, untuk lebih menggalakkan konsep Mastery Learning James H. Block mencoba memampatkan waktu yang diperlukan untuk mempelajari suatu materi pelajaran dalam waktu yang tersedia, yaitu dengan cara meningkatkan semaksimal mungkin kualitas pembelajaran. Jadi dalam pelaksanaannya mengandung arti bahwa: 1) Waktu yang sebenarnya digunakan diusahakan diperpanjang semaksimal mungkin, 2) Waktu yang tersedia diperpendek sampai semaksimal mungkin dengan cara memberikan pelayanan yang optimal dan tepat.

Cara Kerja Mastery Learning
Intinya, Mastery Learning menyempurnakan tujuan pembelajaran dengan mengerjakan tiga (3) hal: a) memberikan siswa perbedaan jumlah waktu untuk mencapai tujuan bahan ajar, b) memberikan penambahan waktu atau remedial untuk siswa yang belum menyelesaikan bahan ajar dengan cepat, c) mengatur satuan kurikulum yang berbeda, yang mana masing-masing siswa dapat diajar dan dievaluasi secara terpisah dari yang lain. Untuk lebih jelasnya akan kami coba untuk menguraikan masing-masing tahap cara kerja Mastery Learning.

Menyediakan waktu pencapaian tujuan
Mastery Learning biasanya mengambil hubungan antara waktu dan prestasi siswa di sekolah. Sebagai ganti alokasi banyaknya waktu belajar yang ditetapkan dan mengikuti tingkat kecerdasan siswa yang beragam, maka Mastery Learning mengharuskan semua siswa untuk mencapai suatu unit belajar tertentu dan memberikan waktu yang diperlukan untuk menguasai unit belajar tersebut secara berbeda-beda antar individu. Dengan kata lain secara sederhana seorang guru harus mencurahkan waktu ekstra untuk siswa yang perlu waktu yang relative lama untuk memahami suatu unit belajar.

Guru yang menggunakan pendekatan Mastery Learning berasumsi bahwa dengan memberikan cukup waktu dan pertolongan yang tepat, sebenarnya semua siswa cepat atau lambat akan sampai pada ketuntasan unit belajar tersebut. Contoh konkrit yang bisa diberikan di sini, misalkan jika satu unit belajar yang mengharuskan siswa untuk menuntaskan pelajaran matematika pada konsep mencari luas bidang datar, pada akhirnya semua siswa harus menguasai konsep ini, sekalipun antara siswa yang satu dengan yang lain berbeda jangka waktu pencapaiannya. Contoh, Suto kebetulan siswa terpandai di kelas dan dia hanya perlu waktu 2 X 45 menit untuk menguasai konsep ini. Tetapi hal ini tidak berlaku untuk Noyo, Kamto, dan siswa yang lain yang notabene ada di bawah Suto tingkat pencapaian ketuntasannya. Mungkin ada yang perlu waktu 2 minggu, 3 minggu atau bahkan lebih dari waktu-waktu tersebut. Bagaimana siswa dapat menuntaskan suatu konsep belajar sangat ditentukan pada bagaimana dengan cepat mereka dapat belajar.

Memberikan Perbaikan Pembelajaran
Dalam rangka mengambil keuntungan dari fleksibilitas waktu belajar, pendekatan mastery menawarkan pembelajaran ekstra, yang disebut dengan perbaikan pembelajaran (corrective instruction), untuk siswa yang terlalu lama memahami tujuan pembelajaran. Corrective instruction ini dapat dalam bentuk tutorial secara individu atau pembelajaran dalam bentuk kelompok kecil yang disesuaikan pada pengulangan ketidakfahaman atau kebingungan yang dihadapi siswa.

Perbaikan pembelajaran dapat terjadi selama jam pembelajaran berlangsung ataupun di luar jam pembelajaran. Misalnya pada jam istirahat, waktu makan siang, ataupun jam setelah sekolah selesai. Contoh kasus, misalnya dalam pelajaran matematika, siswa akan dikategorikan belum tuntas (dari tingkat ketuntasan yang ditargetkan 90% tes tiap unit belajar), maka siswa akan ada pada criteria perbaikan pembelajaran.

Pada perbaikan ini bisa saja digunakan metode dan media mengajar yang berbeda tetapi tetap pada konsep/unit yang sama dan bekerja ke arah yang sama pula secara obyektif sebagaimana sebelumnya. Akhirnya siswa akan dibawa pada tes lain pada unit tersebut, dan jika mereka masih belum beranjak dari daerah kriteria belum tuntas, mereka masih akan perlu perbaikan pembelajaran sampai akhirnya mereka berhasil. Setelah mereka mencapai ketuntasan akan diijinkan untuk melangkah pada unit selanjutnya.

Mangatur Satuan Kurikulum
Untuk membuat perbaikan pembelajaran yang efektif, dalam Mastery Learning guru-guru juga perlu mengatur kurikulum ke dalam satuan pelajaran yang berlainan, masing-masing difokuskan pada satuan khusus pembelajaran yang obyektif. Fokus pendekatan guru pada awal pembelajaran lebih jelas dan membantu memonitor perkembangan siswanya. Selanjutnya mendesain tes dasar pada tiap unit secara tepat. Keuntungannya adalah membantu para guru merencanakan perbaikan pembelajaran yang tepat dan benar-benar membantu.

Pada sekolah umum, Mastery Learning hampir pasti dikatakan cocok pada periode dan waktu pembelajaran, walaupun masih diperlukan schedule yang fleksibel. Oleh karena itu, solusi terbanyak yang direkomendasikan pada Mastery Learning adalah dengan menggunakan group-based mastery learning, yaitu Mastery Learning yang didasarkan pada penggunaan pendekatan secara kelompok (Block & Anderson, 1975; Slavin, 1987b).

Dalam group-based Mastery Learning, meskipun siswa bekerja secara kelompok secara perorangan siswa bertanggung jawab terhadap belajarnya sendiri dan akan lebih memotivasi siswa jika dalam belajar kelompok tersebut ada pemberian reward dengan mempertimbangkan kerjasama antar anggota kelompok, misalnya dengan memberikan bonus nilai pada setiap anggota kelompok, apabila seluruh anggota kelompok mencapai skor tertentu dalam suatu tes. Dengan demikian diharapkan rasa kerjasama, saling membantu dan tanggung jawab diharapkan akan ada dan memotivasi belajar siswa itu sendiri. Karena keberhasilan kelompok berarti keberhasilan seluruh anggota kelompok.

Kelebihan dan Kekurangan Mastery Learning
Mastery Learning menawarkan kemungkinan yang mengasyikan bagi yang akan menggunakan dan/atau mempelajarinya. Para guru akan mencari sebagaimana yang mereka pahami dan mencari penjelasan di sini bahwa: pertama, Mastery Learning memberi suatu pikiran yang efisien dan efektif untuk mentransformasikan pendekatan yang didasarkan pada group-based mastery learning ke dalam kualitas pembelajaran secara optimal masing-masing siswa. Oleh karena itu, prosedur ketuntasan akan bermanfaat pada masing-masing guru untuk membuat investasi dan usaha dalam group-based mastery learning yang memberi hasil dalam bentuk ketuntasan belajar hampir pada semua siswa, tidak hanya pada beberapa siswa.

Kedua, strategi Mastery Learning relatif mudah dan murah. Artinya menyesuaikan metode pembelajaran yang ada, bahan yang diperlukan, dan karakteristik dari semua siswa sehingga dapat menjadi tawaran bagi siswa-siswa untuk memenuhi pengembangan siswa. Ketiga, dengan menggunakan pendekatan mastery pengatur kurikulum (administrator) dapat melakukan perubahan besar di sekolah-sekolah sehingga diharapkan segala distribusi pencapaian cenderung naik. Mereka dapat memastikan bahwa masing-masing siswa diberi kemampuan, perhatian/minat, dan sikap yang mana akan mendorongnya untuk menyelesaikan suatu level tertentu dan untuk melihat keuntungan dari suatu belajar. Mereka juga dapat memastikan bahwa masing-masing siswa akan memperoleh pengalaman kesuksesan belajar yang akan membantu memperkuat kepercayaan dirinya dan membentenginya melawan rasa minder.

Manfaat pendekatan Mastery Learning yang lain dikemukakan oleh Guskey & Gates, 1986, pertama, Mastery Learning memotivasi siswa karena akan membangun rasa percaya diri mereka bahwa semua dari mereka dapat menguasai tujuan pendidikan secara pasti. Lebih lanjut, Mastery Learning menuntut bahwa komunikasi adalah faktor esensi dari tujuan tersebut. Mastery menjadi lebih dari hanya sekedar sesuatu yang biasanya hanya dapat dicapai oleh sedikit siswa.

Kedua, ketika direncanakan dengan baik, mastery membuat belajar dan pembelajaran menjadi lebih efisien. Siswa menjadi tahu bahwa mereka perlu belajar, dan guru tahu bahwa mereka perlu untuk memberi bantuan macam apa yang secara individu diperlukan siswa. Dengan demikian siswa yang paling lambanpun bisa tetap terangkum dalam bimbingan untuk mengejar yang lain sampai mencapai ketuntasan.

Tetapi walaupun manfaat mastery learning, seperti yang telah diuraikan di atas, tetap saja sistem tersebut tidaklah sempurna. Masalah utama yang paling dirasakan terletak pada inti dari pendekatan Mastery Learning: dalam setting sekolah umum, waktu pembelajaran terlalu beragam (Slavin, 1987b). Jika guru memberikan perbaikan dalam jam kelas, maka perhatian guru secara kontinyu terpecah antara siswa pandai dan siswa kurang pandai. Dan hal ini kadang-kadang secara tidak disadari oleh guru telah menghabiskan waktu lebih lama sengan siswa yang lamban, Sehingga bagi siswa yang cepat mengerti akan merasa banyak waktu terbuang hanya untuk menunggu siswa lain yang belum memahami pelajaran.

Memberikan perbaikan pembelajaran di luar jam kelas juga mempunyai kendala. Salah satunya, hal ini akan menambah jam kerja guru secara substansi, tidak realistik pada peluang guru untuk menambah jam lembur mereka pada substansi dasar. Akibatnya, yang paling banyak dipersembahkan guru mungkin tidak dapat memberikan siswa yang paling lamban cukup waktu ekstra untuk mencapai ketuntasan. Dengan demikian, guru-guru sepertinya tidak membuang waktu mengajar terlalu banyak atau sedikit untuk kelas tersebut, dan siswa-siswa yang “lamban”pun tetap terangkum dalam bimbingan.

TEORI DALAM PRAKTEK

Suatu Studi Kasus: Olivia Menggunakan Mastery Learning
Olivia Palaez telah menggunakan Mastery Learning dalam kelas 10 pada kelas pengetahuan umum. Dia menggunakan suatu kurikulum untuk membantunya. Salah satunya dia atur dalam satuan-satuan kecil mandiri dan disesuaikan dengan apa yang dirasa sebagai urutan logis. Dia membaca tentang Mastery Learning dan berkata pada rekan sejawatnya bahwa dia merasa siap untuk memulai.

Semuanya ingin sukses pada hari pertamanya. Secara sederhana Olivia berceramah pada seluruh kelas tentang topik Bab I, topiknya adalah ‘Perbedaan Antara Padat, Cair, dan Gas’. Dia juga menyelingi ceramahnya dengan demonstrasi dari perubahan zat-zat tersebut –seperti pembekuan, penguapan, dll- pada akhir pelajaran dia memberikan quiz singkat dengan maksud untuk mendiagnosa seberapa baik siswa-siswanya telah belajar.

“Real Work” dimulai, sungguhpun Olivia berpikir bahwa ceramah dan demonstrasinya telah dia peragakan dengan demikian cantik dan sempurnanya, dia menemukan bahwa ternyata dia tidak menanamkan materinya dengan sangat bagus terhadap sebagian siswa. Separo dari kelas masih terabaikan dari jangkauan criteria ketuntasan, yaitu 90% benar dari item quiz. Olivia memberanikan untuk menganalisis mengapa 15 siswa belum faham pada topic tersebut, dan memberikan waktu tutorial pada mereka sampai dapat mencapai ketuntasan. Dan jika dia melakukan banyak perbaikan pembelajaran, tentu saja siswa-siswa yang lain –yang telah tuntas- akan perlu memanfaatkan waktu mereka untuk sesuatu aktivitas.

Untungnya kurikulum yang telah Olivia gunakan pada penyelesaian masalah terakhir ini dengan mudah menyediakan banyak penuntun aktivitas pengayaan yang berhubungan masing-masing satuan. Olivia menyeleksi beberapa satuan ini bagi siswa yang telah mencapai ketuntasan. Contohnya, pada salah satu aktivitas pengayaan, mananyai siswa untuk mengamati efek garam pada titik beku dan titik didih air.

Pada aktivitas pengayaan sudah direncanakan pula olehnya hingga Olivia menemukan kamantapan untuk mengoptimalkan waktu dengan siswa-siswa yang perlu perbaikan pembelajaran. Dia gunakan waktu kelas seoptimal mungkin, tapi untuk beberapa siswa dia juga menggunakan jam makan siang dan waktu-waktu ‘luang’ . Pada sesi ini, siswa-siswa terlihat senang, dan Olivia merasa bahwa setiap siswa telah dilayani pendidikannya.

Tapi Olivia mendapati dirinya sangat letih. Dia tahu bahwa memunculkan aktivitas pengayaan tidak selalu dapat digunakan seperti yang dimunculkan; dia telah menghabiskan waktu mencari bahan ataupun merubah pembelajaran untuk membuat lebih jelas aktivitas praktek atau lebih mudah dipahami. Karena penekanan waktu, dia memastikan beberapa sesi perbaikan pembelajaran salah satunya, khususnya pada jam makan siang –hanya untuk menjaga ketidakmerataannya berlangsung terus. Bentuk seperti di atas telah dapat diterima, tetapi suatu hari satu dari siswa yang tuntas datang pada Olivia dengan suatu keluhan. Siswanya berkata, “Anda mengajar kelas ini seperti remedial science,” kata siswanya. “Semua pernah Anda katakan pada orang-orang yang belum belajar.”

Olivia telah siap untuk komentar seperti ini, tapi dia tidak siap untuk menghentikan Mastery Learningnya. Kenyataannya, dia terkejut dengan masalah Mastery Learning yang tidak terlalu banyak, tapi tidak cukup dengan individu. Mungkin secara sederhananya beberapa siswa pandai perlu sesuatu yang lebih rumit dari sekedar aktivitas pengayaan, mungkin mereka perlu untuk bekerja dalam tim kooperatif, untuk mengejar kegiatan-kegiatan yang biasanya sangat lama. Dapatkah Olivia menghubungkan Mastery Learning dengan Cooperative Learning? Olivia mempertimbangkan hal ini sebagaimana dia telah siap untuk mengajar Bab 2 dengan Mastery Learning-nya tentu saja.

Tidak ada komentar: